Gerakan Petta Barang Dari Tanah Bugis Sulawesi Selatan

Pendudukan militer Belanda dan mengambilan kekuasaan pemerintahan atas Kerajaan Bone oleh pemerintah kolonial Belanda menjadi latar belakang munculnya
Sosok Petta Barang Dari Sulawesi Selatan
Sosok Petta Barang Dari Sulawesi Selatan

Penataan kedudukan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di Bone seusai perang tahun 1905, tidak berjalan sebagaimana yang mereka harapkan. Sebab, meskipun Raja Bone La Pawawoi Karaeng Segeri telah diasingkan ke Bandung dan sejumlah bangsawan tinggi telah gugur di medan perang atau ditangkap oleh pasukan Belanda tidak berarti bahwa perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda telah berakhir.

Salah satu di antaranya adalah munculnya gerakan Petta Barang pada 1906. Gerakan yang dipimpin oleh Petta Barang ini, bukan hanya dimaksudkan untuk menentang kedudukan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, melainkan juga bertujuan memulihkan kembali kedudukan kekuasaan Kerajaan Bone. Penghapusan sistem pemerintahan kerajaan dan pelaksanaan sistem pemerintahan kolonia Belanda, telah menghilangkan kedudukan kekuasaan dan mengurangi sumber pendapatan sejumlah bangsawan. Itulah sebabnya mereka mengorganisir kekuatan untuk menentang kekuasaan pemerintah Belanda.

Siapa Sebenarnya Sosok dari Petta Barang?

Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, Petta Barang ini dianggap tokoh yang sangat berpengaruh, bahkan dianggap Petta Barang ini sebagai salah satu dari tujuh Wali Pitue, bersama dengan tokoh yang lain yaitu, Petta Lasinrang, Arung Palakka, Syekh Yusuf, Imam Lapeo, Datu Sangkala/Sangalla, dan K.H. Harun.

Namun siapa sesungguhnya Petta Barang atau Daeng Pabarang, belum dapat dipastikan secara jelas karena sumber tertulis dan keterangan tentang tokoh ini belum dapat dipastikan asal-usulnya. Oleh karena itu banyak riwayat tentang asal-usul tokoh tersebut dalam masyarakat, khususnya di wilayah kerajaan Bone, Soppeng, ataupun Barru lebih bersifat mistis.Ia dikisahkan hadir ke dunia ini tidak seperti manusia biasa, tetapi diturunkan dari langit (Tomanurung).

Ditemukan dan diberi nama oleh Petta Mangung

Terdapat riwayat yang mengisahkan bahwa ketika Petta Mangung mengakhiri pertapaannya di Gunung Bawakaraeng, ia menemukan seorang tua sedang bersandar pada sebuah pohon. Ia kemudian mendekati orang tua itu dan mengajaknya ke Pasempe. Tiba-tiba mereka melihat dua ekor kuda berada dekatnya, seekor berwarna hitam dan yang lainnya berwarna putih. Mereka menggunakan kuda itu berangkat menuju Pasempe. Petta Mangung mengantar orang tua itu ke kediaman Arung Pasempe Parakassi Petta Siga, untuk memperkenalkan dan melaporkan kehadiran orang tua itu. Pada waktu Arung Pasempe menanyakan identitas orang tua itu, ia hanya membisu dan tidak menjawab pertanyaan- pertanyaan menyangkut identitasnya. Orang tua itu hanya bermohon kiranya ia ditempatkan di atas loteng rumah (rakkeang) dari Arung Pasempe. Permohonan itu dikabulkan dan di tempat itu ia duduk, makan, dan istirahat. Sebagai tamu, orang tua itu dilayani dan disajikan makanan menurut tata cara kebangsawanan

Petta Mangung adalah ipar dari Arung Passempe Parakassi Petta Siga, karena Parakassi Petta Siga mengawini saudara perempuan Petta Mangung yang bernama I Kumala Petta Tenne.

Namun tata cara pelayanan tersebut ditolak oleh Petta Barang. Ia tidak menyenangi bila setiap jenis makanan dan lauk disajikan terpisah, masing-masing pada piring tersendiri. Ia menghendaki agar seluruh jenis makanan dan lauk yang disajikan itu disatukan dalam satu tempat apa saja (sembarang). Sikap dan keinginan itulah yang mendasari pertimbangan Arung Pasempe menamakan orang tua itu dengan Petta Barang, sebuah nama yang memiliki arti “sembarang”.

Putra Arung Timurung dengan Karaeng Popo

Selain itu, terdapat pula riwayat tentang Petta Barang yang menghubungkan asal usulnya dengan keluarga Raja Bone Arung Timurung (1871-1896). Diriwayatkan, Petta Barang adalah putra dari perkawinan antara Arung Timurung dengan Karaeng Popo (putra Raja Gowa Karaeng Katangka). Putra itu meninggal ketika masih kecil. Konon kabarnya setelah tiga hari dimakamkan, ia bangkit dan hidup kembali. Ia kemudian kembali ke istana untuk menemui ibunya. Namun ibunya tidak percaya dan menolak anak itu hidup di istana. Penolakan ibunya itu menyebabkan sang anak meninggalkan Bone menuju Belawa. Dari sana ia meninggalkan Sulawesi menuju Jawa dan menetap di Gresik.Ketika ia telah dewasa, tiba-tiba muncul kembali di Pasempe dan melakukan kegiatan sebagai seorang dukun (sanro) yang sakti, memiliki kekuatan magis, dan menguasai kekuatan supernatural

Putra dari Raja Bone Basse Kajuara

Gubernur Sulawesi H. N. A. Swart melaporkan bahwa Petta Barang menampakkan diri sebagai seorang putra dari Raja Bone Basse Kajuara (1857- 1860). Ia harus berjuang terus menerus tanpa mengenal lelah dan tidak boleh berhenti sebelum ia jatuh ke tangan pemerintah baik dalam keadaan hidup ataupun mati.

Pemimpin Gerakan Kerohanian

Sementara dalam laporan serah terima jabatan (memorie van overgave) dari Gubernur Sulawesi, A.J.L. Couvreur diceritakan bahwa Petta Barang, seorang pemimpin gerakan kerohanian yang memulai kegiatannya sebagai dukun (sanro). Ia berlagak seperti Pamadeng Rukka, putra dari Raja Bone Basse Kajuara yang gugur di BajoE ketika pemerintah Belanda melancarkan serangan militer ke Bone pada tahun 1860. Ia menunjukkan dirinya sebagai saudara laki-laki dari We Tenripada, istri dari Raja Gowa Sultan Husain (1895-1905). Setelah ia bertemu secara kebetulan dengan seorang wanita tua dari Wajo, yaitu ibu susu dari Pamadeng Rukkayang mengingatkan kembali luka-luka yang diderita hingga ia meninggal

Jika diperhatikan riwayat tentang Petta Barang tersebut, dengan mengabaikan keterangan dari Gubernur Sulawesi Swart dan Couvreur, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya Petta Barang adalah salah seorang bangsawan istana. Keris bersarung emas yang dianugerahkan kepadanya menunjukkan bahwa benda yang diperoleh itu adalah benda kerajaan (Arajang), karena kerajaan saja yang memiliki keris bersarung emas.

Demikian pula jika dihubungkan dengan riwayat dari Petta Mangung yang membawa tokoh tersebut ke Pasempe, maka dapat dikatakan bahwa keris itu dianugerahkan oleh Petta Manggung, sebagai orang yang dikatakan sebagai salah seorang pengikutnya. Penganugerahan keris itulah yang kemudian menyebabkan Ia bersedia kembali ke kerajaan Bone bersama Petta Mangung. Mereka lalu ke Passempe, karena Watampone telah dikuasai Belanda.Pasempe merupakan pilihan karena tempat itu, bukan hanya lebih aman dan strategis sebagai tempat persembunyian, melainkan juga penguasa dan penduduk daerah itu merupakan pendukung setia raja-raja Bone. Itulah sebabnya Pasempe selalu dijadikan sebagai tempat pertahanan dan pengungsian raja-raja Bone

Pengaruh Petta Barang

Kehadiran Petta Barang di Pasempe memiliki arti yang penting bagi munculnya gerakan perlawanan terhadap pemerintah Belanda di Bone setelah ekspedisi militer 1905. Petta Barang memulai kegiatannya sebagai seorang dukun. Selain praktek perdukunan, ia juga membagikan dan menjual jimat kepada mereka yang datang kepadanya. Jimat itu dikatakan memiliki kekuatan magis yang dapat menyelamatkan pemakainya dari bahaya dan menjadikan pemakainya kebal terhadap senjata. Melalui praktek perdukunan dan penjualan jimat, Petta Barang mengorganisasikan kekuatan untuk melawan Belanda di Bone. Setiap orang yang datang kepadanya untuk berobat atau membeli jimatnya, Petta Barang memperkenalkan diri sebagai seorang utusan para dewa. Ia hadir ke dunia tidak seperti manusia biasa, ia diturunkan dari langit dan memiliki kekuatan berkat cahaya kesucian dari yang maha suci dan maha ajaib yang mengitarinya

Pernyataan tersebut menunjukkan, Petta Barang diutus ke dunia ini untuk memimpin rakyat dan memulihkan keamanan dan ketertiban demi terwujudnya masyarakat yang damai dan sejahtera. Selain itu, kehadiranya pada waktu Bone sudah tidak lagi diperintah oleh keturunan Tomanurung, peletak dasar terbentuknya kerajaan, memberi arti bahwa ia datang untuk memimpin rakyat mengusir pemerintah Belanda dan mengembalikan kedudukan kekuasaan Kerajaan Bone. Pernyataan diri sebagai bukan manusia biasa menyebabkan dalam waktu singkat, ia berhasil mengumpulkan pengikut dalam jumlah banyak dan dengan mudah pengaruhnya tersebar luas. Pengaruhnya tidak hanya dikenal dalam kalangan rakyat biasa, tetapi juga dalam kalangan bangsawan tinggi.

Banyak bangsawan yang bekerjasama dan membantu Petta Barang. Putra Ratu Tanete, La Tenri Sessu, yang turut membantu pasukan Belanda pada 1905, ternyata kemudian bekerjasama dan membantu Petta Barang. Orang-orang di Soppeng pada umumnya mengenal Petta Barang dan mendukungnya. Bahkan regent Sigeri menggabungkan diri secara diam-diam dengannya dan mengirimkan bantuan uang kepada Petta Barang. Dukungan dan bantuan yang diperoleh dari para bangsawan tinggi yang mendasari pernyataan Swart bahwa semakin bertambahnya pengikut dan semakin luas pengaruhnya, bukan hanya karena perjuangannya dalam menentang pemerintahan Belanda, melainkan yang terpenting adalah jaminan pemondokan dan pangan yang disediakan bagi pengikutnya

Sepak Terjang dan Gerakan Petta Barang

Gerakan yang dipimpin oleh Petta Barang, berawal ketika ia bersama para pengikutnya melancarkan serangan terhadap pasukan Belanda di Watampone pada Juli 1906. Meskipun tidak memiliki persenjataan yang baik seperti senapan atau senjata api lainnya, namun keberanian para pengikutnya dalam serangan itu dan serangan- serangan berikutnya menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan bagi pasukan Belanda.

Hanya bersenjatakan tombak dan keris, mereka tidak gentar dan tidak takut melancarkan serangan terhadap pasukan Belanda. Bahkan sebagian pengikutnya hanya bermodalkan jimat yang diberikan Petta Barang dan senjata seadanya berani menyerang pasukan Belanda sedang melakukan patroli. Petta Barang tidak hanya mempunyai pengikut di Bone, tetapi juga di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan, misalnya di Soppeng, Barru, Tanete, Segeri, Camba, dan Sinjai.

Penyerangan Watampone

Kegiatan Petta Barang di Pasempe dalam mengorganisir kekuatan perlawanan, tidak diketahui dan tidak disadari pemerintah Belanda di Bone. Hal itu bukan saja karena cara yang digunakan adalah melalui praktek perdukunan dengan sistem pengobatan tradisional, tetapi juga karena perhatian dari pasukan Belanda diarahkan untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.Di wilayah bekas Kerajaan Bone, pasukan Belanda pada mulanya ditempatkan di Watampone, Pompanua,Mare, dan Pattiro Bulu. Keadaan itu melapangkan Petta Barang lebih leluasa mengorganisir kekuatan di Pasempe, untuk menyerang kedudukan pemerintahan Belanda di Watampone.

Setelah segala persiapan dirampungkan, ia mengorganisir pengikutnya untuk melancarkan serangan. Dengan bersenjatakan tombak dan keris atau badik, mereka berangkat menuju Watampone pada pertengahan Juli 1906.

Sasaran penyerangan adalah bivak (perkemahan darurat militer) pasukan Belanda di Watampone. Ketika menjelang dini hari, para pengikut Petta Barang melancarkan serangan secara tidak terduga, sehingga pasukan Belanda tidak berhasil mengorganisir kekuatan dalam menghadapi serangan musuh.

Setelah melancarkan serangan, mereka dengan segera meninggalkan tempat kejadian.Para penyerang meninggalkan tempat itu dengan meneriakkan bahwa akan kembali lagi menyerang di bawah pimpinan Petta Barang. Pernyataan itu membuat anggota pasukan Belanda senantiasa bersiaga dan melakukan patroli untuk mencegah rencana penyerangan.

Sementara kota Watampone dicekam ketakutan dan kecemasan akan terjadinya penyerangan susulan. Keadaan itu tidak hanya dirasakan penduduk tetapi juga oleh pasukan Belanda.

Setelah menyerang Watampone, Petta Barang bersama para pengikunya tidak melakukan serangan lagi hingga permulaan 1907. Petta Barang mulai lebih banyak melakukan penyerangan sejak Februari 1907.

Maksud dari pemberitaan penyerangan susulan tersebut, bertujuan mengundang pasukan Belanda melakukan patroli. Pasukan patroli umumnya berjumlah kecil, biasanya satu regu. Jumlah pasukan yang kecil itu akan lebih memungkinkan para pengikut Petta Barang yang hanya bersenjatakan tombak dan keris lebih berani dan berhasil menyerang. Serangan-serangan itu juga sekaligus merupakan demontrasi keberanian dan kehebatan pengikut-pengikut Petta Barang.

Itulah sebabnya ketika satu regu pasukan patroli Belanda berada di Pising (Lamuru) pada 22 Februari 1907, tiga orang pengikut Petta Barang yang bersenjatakan tombak melancarkan serangan. Serangan yang dilancarkan secara tiba-tiba itu berakibat seorang prajurit Belanda meninggal, sementara kelompok penyerang dua orang gugur dan seorang berhasil menyelamatkan diri

Selain melakukan penyerangan terhadap kedudukan Belanda di wilayah Bone, Petta Barang juga mengorganisasikan perlawanan di wilayah bekas kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan. Di Tanete misalnya, pasukan patroli Belanda diserang pengikut Petta Barang yang dipimpin oleh Daeng Patompo pada 26 Juli 1907. Diperoleh berita bahwa Petta Barang selalu berada di Tanete. Karena itu pasukan Belanda melakukan penyerangan terhadap daerah itu dan Daeng Patompo gugur pada peristiwa itu. Pada akhir Juli 1907, pasukan Belanda kembali melakukan penyerangan terhadap Tanete, namun Petta Barang dapat meloloskan diri berkat bantuan dari pengikut yang terdekatnya.

Keberhasilannya dalam meloloskan diri setiap usaha penyergapan, semakin menimbulkan ketenaran di kalangan pengikut dan penduduk. Timbul anggapan bahwa tokoh itu cepat menghilang apabila hendak ditangkap. Juga dikisahkan bahwa ia sering berganti wajah, sebentar kelihatan bagaikan seorang yang sudah tua, dan kadang-kadang tampak bagaikan seorang pemuda yang gagah dan tampan.

Selama Petta Barang berada di Tanete, ia senantiasa berada di bawah perlindungan dari La Tenri Sessu, Datu Bakke.

Selain itu, para pengikut Petta Barang juga melancarkan serangan sekali lagi terhadap bivak di Watampone pada akhir Oktober 1907. Korban akibat serangan itu tidak diberitakan. Meskipun kelompok penyerang segera melarikan diri setelah melancarkan serangan, namun sebagian dari mereka berhasil ditawan oleh pasukan Belanda berkat kerja sama dengan kepala kampung dan rakyat.

Penyerangan Di Pattiro Bulu

Pada Januari 1908, tersebar berita Petta Barang akan melancarkan serangan terhadap bivak di Pattiro Bulu. Berita itu mendorong pemerintah Belanda mengirimkan dua brigade polisi militer (marechaussees) ke Pattiro Bulu. Pengiriman pasukan itu dilakukan secara rahasia, tanpa diketahui oleh pengikut Petta Barang.

Berita itu menjadi kenyataan, para pengikut Petta Barang melancarkan serangan terhadap bivak di Pattiro Bulu pada awal Februari 1908.

Serangan yang dilancarkan dengan jumlah anggota yang cukup banyak dengan bersenjatakan tombak dan keris itu berhasil dikalahkan oleh pasukan Belanda yang telah dipersiapkan sebelumnya. Bahkan pasukan Belanda berhasil melancarkan serangan balik terhadap kelompok penyerang yang berusaha melarikan diri. Pada peristiwa itu, 39 orang pengikut Petta Barang gugur dan luka-luka tidak diketahui. Selain itu, juga beberapa orang pengikut Petta Barang berhasil ditangkap dan ditawan oleh pasukan Belanda.

Kemunduran Gerakan dan Redupnya Pamor Petta Barang

Kegagalan Penyerangan Di Pattiro Bulu mempunyai dampak terhadap kesetiaan para pengikut Petta Barang. Sebab tidak lama setelah peristiwa itu, Karaeng Bado, salah seorang pemimpin penyerangan bivak Pattiro Bulu, menyerahkan diri kepada pasukan Belanda. Karaeng Bado selanjutnya diajukan ke pengadilan negeri dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.

Terlebih setelah paman, istri, dan saudara perempuan Petta Barang ditangkap oleh pemerintah kolonial. Akibatnya kedudukan kepemimpinannya semakin merosot, bahkan di kalangan para pengikutnya berkembang pemikiran yang meragukan kedudukan Petta Barang sebagai tokoh yang memiliki kesaktian, seorang pemimpin yang diturunkan dari langit untuk membebaskan rakyat dari kekuasaan Belanda. Oleh karena itu, lambat laun pengikutnya semakin berkurang serta dukungan dan bantuan yang diperoleh semakin sedikit.

Meskipun demikian, tidak memudarkan semangat perjuangan Petta Barang. Ia berusaha menjalin hubungan dengan Andi Panambong di Soppeng. Andi Panambong adalah seorang pemimpin bandit terkenal. Ia mengorganisir empat kelompok perampok di Soppeng.

Berita tentang kegiatan penyerangannya tidak terdengar lagi. Beberapa penyerangan terhadap pasukan patroli Belanda yang menggunakan taktik yang sama dengan yang digunakan oleh para pengikut Petta Barang, menggundang interpensi dari pejabat pemerintah Belanda untuk menyatakan bahwa gerakan itu dilakukan oleh pengikut Petta Barang.

Salah satu di antaranya adalah gerakan yang dipimpin oleh Nyimpa di daerah perbatasan Bone Selatan dan Sinjai. Nyimpa mengorganisir penduduk Kampung Lohe Batu untuk menyerang pejabat pemerintah yang ditempatkan di Bikeru pada 1909.

Bikeru merupakan tempat di mana Petta Barang menetap semasa hidupnya. Itulah sebabnya gerakan yang terjadi itu dipandang dilakukan oleh pengikut Petta Barang, di samping corak gerakan yang sama dengan gerakan Petta Barang. Gerakan itu diawali dengan penolakan penduduk untuk disensus dan membayar pajak.

Gerakan yang dianggap didalangi oleh pengikut Petta Barang ini dengan mudah dapat dipadamkan oleh pasukan Belanda. Demikian pula halnya dengan gerakan kerohanian yang dipimpin oleh Ambo Sida di Kampung Lapajung (Onderafdeling Soppeng) pada Juni 1911.

Namun gerakan Petta Barang masih disebut-sebut sebagai ancaman terhadap keamanan dan ketertiban bagi pemerintah Belanda hingga tahun 1941.

Berakhirnya Gerakan Petta Barang

Pada awal gerakan Petta Barang, pemerintah Belanda belum bergiat sepenuhnya untuk menangkap tokoh pemimpin gerakan itu. Mereka hanya bergiat mengadakan pengawasan keamanan dengan pasukan patroli.

Hal itu berkaitan erat dengan kondisional saat itu. Jumlah pasukan Belanda yang tersedia terbatas untuk dapat menjamin keamanan dan ketertiban di wilayah Gouvenement Celebes en Onderhoorigheden.

Sementara keadaan di wilayah ini tidak memungkinkan pemusatan kekuatan untuk menumpas gerakan perlawanan yang bercorak kerohanian yang demikian banyak. Demikian juga terhadap gangguan keamanan akibat kelompok perampok, baik karena tekanan ekonomi maupun sebagai gerakan protes sosial dan politik.

Barulah ketika Petta Barang melakukan penyerangan terhadap bivak di Pattiro Bulu pada Februari 1908, pemerintah Belanda mulai melangkah untuk bergiatt menumpas gerakan itu.

Untuk itu diperintahkan kepada Lettu Pimentel memimpin satu pasukan mengadakan patroli dalam rangka mengikuti, mengawasi, dan menangkap tokoh gerakan itu.

Awalnya pemerintah Belanda masih meragukan apakah setiap gerakan penyerangan terhadap pasukan patroli dan bivak itu diorganisir oleh Petta Barang. Namun Hasil penelitian Pimentel membuktikan bahwa memang benar gerakan itu diorganisir dan dipimpin oleh Petta Barang.

Dilakukanlah usaha pengejaran terhadap Petta Barang yang sedang berada di Barru. Pada 2 April 1908, pasukan patroli khusus yang dipimpin oleh Pimentel melancarkan serangan terhadap Petta Barang. Pada peristiwa itu lima orang pengikutnya gugur, namun Petta Barang berhasil meloloskan diri. Karena itu usaha pengejaran terus dilakukan di Barru dan Soppeng, yang dipandang sebagai tempat persembunyian Petta Barang bersama para pengikutnya

Pada waktu Gubernur Sulawesi A. J. Baron Quarles de Quarles (Mei 1908–Agustus 1910) tampil menggantikan Gubernur Swart, usaha untuk mengejar dan menangkap Petta Barang kurang mendapat perhatian. Sebab, menurutnya bahwa Petta Barang bukanlah seorang yang berbahaya. Karena itu usaha pengejaran secara khusus terhadapnya dihentikan. Hanya pasukan- pasukan patroli yang berada di setiap tempat diharapkan waspada terus dan jika menemukan dilakukan pengejaran dan menangkap, bukan hanya Petta Barang melainkan juga para pemimpin gerakan kerohanian dan gerakan perbanditan lainnya.

Sementara perhatian yang diutamakan adalah perbaikan kehidupan ekonomi dan sosial serta penataan wilayah pemerintahan, misalnya, perbaikan jalan, jembatan, dan irigasi

Pada dasarnya Quarles berpendapat bahwa melalui perbaikan penataan wilayah pemerintahan, sarana dan prasarana yang menunjang perbaikan kehidupan ekonomi, akan mampu mengatasi berbagai tantangan dan perlawanan yang diorganisir oleh pemimpin-pemimpin gerakan dan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan hukum seperti perampokan.

Apa yang dicanangkan oleh Quarles itu, berhasil mengatasi gangguan ketertiban dan keamanan yang terjadi di Sulawesi Selatan pada umumnya dan Bone pada khususnya. Perbaikan pemerintahan, kehidupan ekonomi, dan sosial berhasil memikat jalinan kerjasama yang baik antara para pemimpin rakyat dan masyarakat dengan pemerintah Belanda.

Ketika W.J. Coenen menjadi gubernur Sulawesi (Agustus 1910 – Oktober 1913), usaha mengatasi berbagai gerakan perlawanan dan gangguan keamanan kembali menjadi perhatian penting dan diarahkan pada tindakan militer.

Demikian pula halnya dengan gerakan Petta Barang, sebab menurutnya ia merupakan seorang tokoh yang berbahaya. Petta Barang memiliki pengaruh yang sangat luas dalam kalangan masyarakat Bugis dan Makassar, baik dalam lingkungan bangsawan tinggi, kepala-kepala kampung maupun masyarakat umum.

Ia merupakan seorang tokoh yang berwibawa, dan oleh masyarakat dipandang sebagai seorang tomanurung. Karena itu, menurut Coenen gerakan itu harus dibinasakan dengan kekuatan militer. Ia memerintahkan dilakukan patroli militer khusus untuk mengejar dan menangkap Petta Barang

Pengejaran yang dilakukan oleh pasukan Belanda itu menyebabkan kedudukan Petta Barang semakin terdesak. Dalam keadan itu, ia akhirnya berusaha menggabungkan diri dengan kelompok Andi Panambong, yang selama itu mengorganisir kegiatan perampokan di Soppeng.

Penggabungan itu memberikan dorongan keberanian kepada para pengikut Andi Panambong untuk melaksanakan perampokan secara terang-terangan. Namun kegiatan perampokan itu memudahkan bagi pasukan Belanda, sebab dengan mudah dapat mengetahui tempat persembunyian Petta Barang dan Andi Panambong.

Oleh karena itu pasukan Belanda melancarkan serangan terhadap tempat persembunyian Petta Barang dan Andi Panambong di wilayah Onderafdeling Soppeng pada 30 Agustus 1912. Dalam penyerangan itu Petta Barang berhasil meloloskan diri, namun Andi Panambong sendiri gugur bersama beberapa orang pengikutnya

Kematian Andi Panambong itu berakibat Petta Barang kehilangan dukungan dalam melanjutkan perlawanan. Ia selanjutnya mengungsikan diri ke hulu Sungai Walimpung.

Di tempat persembunyian itu, sekali lagi diserang oleh pasukan Belanda. Dalam penyerangan itu, ia juga berhasil meloloskan diri.

Pada Mei 1913, Datu Citta berhasil mengetahui tempat persembunyian Petta Barang. Datu Citta selanjutnya mengorganisir patroli rakyat yang langsung di bawah pimpinannya untuk mengejar dan menangkap Petta Barang. Ia terlebih dahulu memisahkan Petta Barang dari para pengikutnya. Oleh karena itu, Datu Citta berhasil menangkap Petta Barang di tempat persembunyiannya di Ale Tinco (Onderafdeling Soppeng) pada 5 Mei 1913.

Selanjutnya Datu Citta mengantar Petta Barang ke Watan Soppeng dan menyerahkannya kepada pejabat Civiele Gezaghebber.

Petta Barang selanjutnya diajukan ke pengadilan Bumiputra (inheemsche rectbank) di Watan Soppeng. Ia dinyatakan bersalah melakukan komplotan untuk menjatuhkan pemerintahan Belanda. Karena itu, pengadilan memutuskan dan menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara (Surat Keputusan Pengadilan Bumiputra Watan Soppeng Tanggal 15 Mei 1913.

Setelah dijatuhi hukman, Petta Barang selanjutnya dibawa ke Makassar untuk dipenjarakan. Namun, Gubernur Coenen yang sejak awal memandang Petta Barang sebagai tokoh yang berbahaya, merasa kuatir jika dipenjarakan di Makassar. Sebab ia tidak mempercayai sepenuhnya pengawasan petugas penjara terhadap Petta Barang. Coenen kuatir kelak Petta Barang dapat meloloskan diri dari penjara. Oleh karena itu diputuskan mengirim Petta Barang ke Batavia.

Pada 7 Juni 1913, Daeng Pabarang diberangkatkan ke Jawa. Sementara menanti keputusan penentuan tempat pengasingannya, Petta Barang akhirnya meninggal sebagai seorang tawanan dalam penjara. Namun sebagai masyarakat di daerah Bugis tidak percaya tentang kematian itu, terutama di kalangan pengikut dan keturunannya,sehingga beberapa rumor serta riwayat yang berkembang di masyarakat yang bersifat mistis dan ghaib. Termasuk merujuk ke gelar yang di sematkan oleh masyarakat seperti Petta To Ri Sappae karena konon saat beliau di tangkap dan akan di bawa ke penjara beliau tiba-tiba beliau menghilang di atas kudanya.

Penutup

Gerakan Petta Barang bukan hanya dilatarbelakangi oleh pendudukan militer dan penghapusan sistem kerajaan, melainkan juga oleh keresahan masyarakat akibat terjadinya peubahan sosial sebagai konsekuensi semakin kuatnya pengaruh kekuasaan Belanda di Bone.

Sementara perubahan sosial yang menyertai penghapusan sistem kerajaan dan pelaksanaan sistem pemerintahan kolonial Belanda, seperti wajib pajak dan kerja rodi, telah menimbulkan keresahan masyarakat. Itulah sebabnya gerakan Petta Barang yang hendak mengusir penjajahan Belanda dan memulihkan kembali kedudukan kekuasaan Kerajaan Bone mudah mendapat dukungan dari masyarakat.

Taktik perlawanan yang dilakukan oleh Petta Barang bersama para pengikutnya cukup merepotkan pasukan Belanda sehingga dikerahkan pasukan khusus untuk menumpasnya. Setelah berukanglai mengalami kegagalan, pasukan Belanda akhirnya berhasil menangkap Petta Barang di Ale Cinto, Soppeng pada 5 Mei 1913. Petta Barang kemudian dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Dengan alasan keamanan dan ketertiban Petta Barang diasingkan ke Jawa, namun ia meninggal dalam penjara sebelum menjalani kehidupan yang menyengsarakan dalam pengasingan.


Rate This Article

Terima kasih telah membaca artikel: Gerakan Petta Barang Dari Tanah Bugis Sulawesi Selatan, Salama'ki to pada salama:)

About the Author

Sejarah bukan seni bernostalgia, tapi sejarah adalah ibrah, pelajaran, yang bisa kita tarik ke masa sekarang, untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Bone Terkini

إرسال تعليق

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.