Lontara Akkarungeng Ri Bone Oleh : Drs. Asmat Riady Lamallongeng

Disadur dari Lontara’ Akkarungeng ri Bone, milik Drs. A. Amir Sessu Mantan KASI KEBUDAYAAN KANDEPDIKBUD Kab. Bone yang diterbitkan dengan biaya Pemeri

ManurungE ri Matajang Mata SilompoE (1326 – 1358)

Dalam lontara’ tersebut diketahui bahwa setelah habisnya turunan Puatta Menre’E ri Galigo, keadaan negeri-negeri diwarnai dengan kekacauan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya arung (raja) sebagai pemimpin yang mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat. Terjadilah perang kelompok-kelompok anang (perkauman) yang berkepanjangan (Bugis = Sianre bale).

Kelompok-kelompok masyarakat saling bermusuhan dan berebut kekuasaan. Kelompok yang kuat menguasai kelompok yang lemah dan memperlakukan sesuai kehendaknya. Keadaan yang demikian itu, dalam Bahasa Bugis disebut SIANRE BALE (saling memakan bagaikan ikan). Tidak ada lagi adat istiadat, apalagi norma-norma hukum yang dapat melindungi yang lemah. Kehidupan manusia saat itu tak ubahnya binatang di hutan belantara, saling memangsa satu sama lain.

Menurut catatan lontara’, keadaan yang demikian itu berlangsung kurang lebih tujuh pariyama lamanya. Menurut hitungan lama, satu pariyama mungkin sama dengan 100 tahun. Jadi kalau mengacu pada perhitungan ini maka dapat dipastikan bahwa turunan Puatta MenreE ri Galigo telah hilang 700 tahun yang lalu. Bone dan negeri-negeri sekitarnya mengalami kekacauan yang sangat luar biasa. Wallahu a’lam bissawab.

Adapun awal datangnya seorang arung (raja) di Bone yang dikenal dengan nama ManurungE ri Matajang Mata SilompoE, ditandai dengan gejala alam yang menakutkan dan mengerikan. Terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat, kilat dan guntur sambar menyambar, hujan dan angin puting beliung yang sangat keras.

Setelah keadaan itu reda dan sangat tak terduga, tiba-tiba di tengah lapangan yang luas kelihatan ada orang berdiri dengan pakaian serba putih. Karena tidak diketahui dari mana asal usulnya, maka orang menyangkanya To Manurung yaitu manusia yang turun dari langit. Orang banyak pun pada datang untuk mengunjunginya.

Adapun kesepakatan orang yang menganggapnya sebagai To Manurung adalah untuk mengangkatnya menjadi arung (raja) agar ada yang bisa memimpin mereka. Orang banyak berkata ;

Kami semua datang ke sini untuk meminta agar engkau jangan lagi mallajang (menghilang). Tinggallah menetap di tanahmu agar engkau kami angkat menjadi arung (raja). Kehendakmu adalah kehendak kami juga, perintahmu kami turuti. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun mencelanya, asalkan engkau mau tinggal”.

Orang yang disangka To Manurung menjawab ;

Bagus sekali maksudmu itu, namun perlu saya jelaskan bahwa saya tidak bisa engkau angkat menjadi arung sebab sesungguhnya saya adalah hamba sama seperti engkau. Tetapi kalau engkau benar-benar mau mengangkat arung, saya bisa tunjukkan orangnya. Dialah arung yang saya ikuti”.

Orang banyak berkata ;

Bagaimana caranya kami mengangkat seorang arung yang kami belum melihatnya?

Orang yang disangka To Manurung menjawab ;

Kalau benar engkau mau mengangkat seorang arung , saya akan tunjukkan tempat – matajang (terang), disanalah arung itu berada

Orang banyak berkata ;

”Kami benar-benar mau mengangkat seorang arung, kami semua berharap agar engkau dapat menunjukkan jalan menuju ke tempatnya”.

Orang yang disangka To Manurung (konon bernama Pua’ Cilaong dari Bukaka), mengantar orang banyak tersebut menuju kesuatu tempat yang terang dinamakan Matajang (berada dalam kota Watampone sekarang).

Gejala alam yang mengerikan tadi kembali terjadi. Guntur dan kilat sambar menyambar, angin puting beliung dan hujan deras disusul dengan gempa bumi yang sangat dahsyat. Setelah keadaan reda, nampaklah To Manurung yang sesungguhnya duduk di atas sebuah batu besar dengan pakaian serba kuning. To Manurung tersebut ditemani tiga orang yaitu ; satu orang yang memayungi payung kuning, satu orang yang menjaganya dan satu orang lagi yang membawa salenrang.

To Manurung berkata ;

Engkau datang Matowa?

MatowaE menjawab ;

Iye, Puang”.

Barulah orang banyak tahu bahwa yang disangkanya To Manurung itu adalah seorang Matowa. Matowa itu mengantar orang banyak mendekati To Manurung yang berpakaian serba kuning.

Berkatalah orang banyak kepada To Manurung ;

Kami semua datang ke sini untuk memohon agar engkau menetap. Janganlah lagi engkau mallajang (menghilang). Duduklah dengan tenang agar kami mengangkatmu menjadi arung. Kehendakmu kami ikuti, perintahmu kami laksanakan. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun mencelanya. Asalkan engkau berkenan memimpin kami”.

To Manurung menjawab ;

Apakah engkau tidak membagi hati dan tidak berbohong?

Setelah terjadi kontrak sosial antara To Manurung dengan orang banyak, dipindahkanlah To Manurung ke Bone untuk dibuatkan salassa (rumah). To Manurung tersebut tidak diketahui namanya sehingga orang banyak menyebutnya ManurungE ri Matajang. Kalau datang di suatu tempat dan melihat banyak orang berkumpul dia langsung mengetahui jumlahnya, sehingga digelar Mata SilompoE.

ManurungE ri Matajang inilah yang menjadi Mangkau’ (raja) pertama di Bone. ManurungE ri Matajang kemudian kawin dengan ManurungE ri Toro yang bernama We Tenri Wale. Dari perkawinan itu lahirlah La Ummasa dan We Pattanra Wanuwa, lima bersaudara.

Adapun yang dilakukan oleh ManurungE ri Matajang setelah diangkat menjadi Mangkau’ di Bone adalah – mappolo leteng (menetapkan hak-hak kepemilikan orang banyak), meredakan pula segala bentuk kekerasan dan telah lahir yang namanya bicara (adat). ManurungE ri Matajang pula yang membuat bendera kerajaan yang bernama WoromporongE.

Setelah genap empat pariyama memimpin orang Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan ;

”Duduklah semua dan janganlah menolak anakku La Ummasa untuk menggantikan kedudukanku. Dia pulalah nanti yang melanjutkan perjanjian antara kita”.

Hanya beberapa saat setelah mengucapkan kalimat itu, kilat dan guntur sambar menyambar. Tiba-tiba ManurungE ri Matajang dan ManurungE ri Toro menghilang dari tempat duduknya. Salenrang dan payung kuning turut pula menghilang membuat seluruh orang Bone pada heran. Oleh karena itu diangkatlah anaknya yang bernama La Ummasa menggantikannya sebagai arung (Mangkau’) di Bone.


Nextpage --> La Ummasa (1358 – 1424)

La Ummasa (1358 – 1424)

Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang sebagai Mangkau’ di Bone. Setelah La Ummasa meninggal maka digelarlah To Mulaiye Panreng (orang yang mula-mula dikuburkan). Mangkau’ ini hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) kalau dia bepergian untuk melindungi dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung di Bone.

La Ummasa digelar pula Petta Panre BessiE (pandai besi) karena dialah yang mula-mula menciptakan alat-alat dari besi di Bone. Di samping itu La Ummasa sangat dicintai oleh rakyatnya karena memiliki berbagai kelebihan seperti ; daya ingatnya tajam, penuh perhatian, jujur, adil dan bijaksana.

Saudara perempuannya yang bernama We Pattanra Wanuwa kawin dengan Arung Palakka yang bernama La Pattikkeng. Konon La Ummasa pernah bermusuhan dengan iparnya selama tiga bulan dan tidak ada yang kalah. Akhirnya berdamai kembali dan keduanya menyadari bahwa permusuhan tidak akan membawa keuntungan. Untuk memperluas wilayah pemerintahannya, La Ummasa menaklukkan wilayah-wilayah sekitarnya, seperti ; Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu.

La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak perempuan,To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal dari orang biasa atau bukan turunan bangsawan. Oleh karena itu, setelah dia tahu bahwa We Pattanra Wanuwa akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke Palakka ke rumah saudaranya We Pattanra Wanuwa yang diperisterikan oleh Arung Palakka yang bernama La Pattikkeng.

Kepada anaknya To Suwalle dan To Sulewakka, La Ummasa berpesan ;

”Kalau Puammu telah melahirkan, maka ambil anak itu dan bawa secepatnya kemari. Nanti di sini baru dipotong ari-arinya dan ditanam tembuninya”.

Tidak berapa lama setelah To Suwalle dan To Sulewakka tiba di istana We Pattanra Wanuwa, lahirlah anak laki-laki yang sehat dan memiliki rambut yang tegak ke atas (Bugis : karang) sehingga dinamakan Karampeluwa. Ketika anaknya dibawa ke Bone, Arung Palakka tidak ada di tempat dan tindakan itu menyakitkan hatinya.

Sesampainya di istana Arumpone, bayi tersebut barulah dipotong ari-arinya dan dicuci darahnya. Bayi itu dipelihara oleh saudara perempuan Arumpone yang bernama We Samateppa.

Arumpone La Ummasa mengundang seluruh rakyatnya untuk datang berkumpul dan membawa senjata perang. Keesokan harinya berkumpullah seluruh rakyat lengkap dengan senjata perangnya. Dikibarkanlah bendera WoromporongE dan turunlah Arumpone di Baruga menyampaikan ;

”Saya undang kalian untuk mendengarkan bahwa saya telah mempunyai anak laki-laki yang bernama La Saliyu Karampeluwa. Mulai hari ini saya menyerahkan kedudukan saya sebagai Arumpone. Dan kepadanya pula saya serahkan untuk melanjutkan perjanjian yang pernah disepakati antara Puatta ManurungE ri Matajang dengan orang Bone”.

Seluruh orang Bone mengiyakan kemudian mangngaru (mengucapkan sumpah setia).

Dilantiklah La Saliyu Karampeluwa oleh pamannya La Ummasa menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Dalam acara itu pula nariule sulolona (selamatan atas lahirnya) dan ditanam tembuninya. Setelah itu dinaikkanlah La Saliyu Karampeluwa ke LangkanaE (istana).

Sejak dilantiknya La Saliyu Karampeluwa menjadi Arumpone, maka setiap La Ummasa akan bepergian selalu menyampaikan kepada pengasuhnya dalam hal ini saudaranya sendiri yang bernama We Samateppa.

Suatu saat La Ummasa sakit keras yang menyebabkan ia meninggal dunia, maka digelarlah ; La Ummasa Mulaiye Panreng (orang mula-mula dikuburkan).


Nextpage --> La Saliyu Karampeluwa (1424 – 1496)

La Saliyu Karampeluwa (1424 – 1496)

Dialah yang menggantikan pamannya menjadi Arumpone. Kedudukannya ini diterima dari pamannya sejak berusia satu malam (masih bayi). Kalau ada sesuatu yang akan diputuskan maka To Suwalle yang memangkunya menjadi juru bicaranya. Kemudian yang bertindak selaku Makkedang Tana adalah To Sulewakka.

Ketika memasuki usia dewasa, barulah La Saliyu Karampeluwa mengunjungi orang tuanya di Palakka. Sesampainya di Palakka, kedua orang tuanya sangat gembira dan diberikanlah pusakanya yang menjadi miliknya, juga Pasar Palakka. Sejak itu orang tidak lagi berpasar di Palakka tapi pindah ke Bone.

La Saliyu Karampeluwa dikawinkan oleh orang tuanya dengan sepupunya yang bernama We Tenri Roppo anak pattola (putri mahkota) Arung Paccing. Dari perkawinan itu lahirlah We Banrigau atau Daeng Marowa, We Pattana Daeng Mabela yang digelar MakkaleppiE kemudian menjadi Arung Majang. Sementara bagi orang Bukaka, sebahagian dibawa ke Majang. Mereka itulah yang menjadi rakyat MakkaleppiE yang mendirikannya Sao LampeE di Bone, yang diberi nama Lawelareng. Oleh karena itu, maka digelarlah MakkaleppiE – Massao LampeE Lawelareng. Bagi orang banyak menyebutnya ; Puatta Lawelareng.

Pada masa pemerintahannya, La Saliyu Karampeluwa sangat dicintai oleh rakyatnya karena memiliki sifat-sifat ; rajin, jujur, cerdas, adil dan bijaksana. Ia juga dikenal pemberani dan tidak pernah gentar menghadapi musuh. Konon sejak masih bayi tidak pernah terkejut bila mendengarkan suara-suara aneh atau suara-suara besar.

La Saliyu Karampeluwa pulalah yang memulai mengucapkan ada passokkang (mosong / angngaru) terhadap musuh, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh arung-arung terdahulu seperti yang tercatat dalam Galigo. Ia pula yang membuat bate (bendera) yang bernama ; CellaE ri abeo dan CellaE ri atau (Merah di sebelah kiri dan Merah di sebelah kanan WoromporongE).

Pada saat itu orang Bone terbagi atas tiga bahagian dan masing-masing bahagian bernaung di bawah bendera tersebut. Yang bernaung di bawah bendera WoromporongE adalah Arumpone sendiri dan orang Majang sebagai pembawanya. Yang bernaung di bawah bendera CellaE ri atau adalah orang Paccing, Tanete, Lemolemo, Melle, Macege, Belawa pembawanya adalah Kajao Paccing. Sedangkan yang bernaung di bawah bendera CellaE ri abeo adalah orang Araseng, Ujung, Ta’, Katumpi, Padaccengnga, Madello, pembawanya adalah Kajao Araseng.

Untuk memperluas wilayah kerajaannya, La Saliyu Karampeluwa menaklukkan negeri-negeri sekitarnya seperti ; Pallengoreng, Sinri, Anro Biring, Melle, Sancereng, Cirowali, Bakke, Apala, Tanete, Attang Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Bulu Riattang Salo, Parigi, Lompu. Pada masa pemerintahannya dia mempersatukan orang Bone dengan orang Palakka yang membuat Palakka sebagai wilayah bawahan dari Bone.

Beberapa negeri berikutnya menyatakan diri bernaung di bawah pemerintahannya, seperti ; LimampanuwaE ri Alau Ale’ (Lanca, Otting, Tajong, Ulo dan Palongki). Datang pula Arung Baba UwaE yang bernama La Tenri Waru menemui menantunya menyatakan bernaung di bawah Kerajaan Bone. Begitu pula Arung Barebbo dan Arung Pattiro yang bernama La Paonro menemui iparnya menyatakan bernaung di bawah Kerajaan Bone, juga Arung Cina, Ureng dan Pasempe.

Arung Kaju yang bernama La Tenri Bali di samping datang untuk menyatakan diri bergabung dengan Bone, sekaligus melamar anak Arumpone yang bernama We Banrigau dan dutanya diterima.

Selanjutnya Arung Ponre, LimaE Bate ri Attangale’, AseraE Bate ri Awangale’ datang bergabung dengan Bone. Boleh dikata pada saat pemerintahannya, seluruh wilayah disekitarnya menyatakan diri bergabung dengan Bone.

La Saliyu Karampeluwa dikenal sangat mencintai dan menghormati kedua orang tuanya. Hamba sendirinya dikeluarkan dari Saoraja dan ditempatkan di Panyula. Sementara hamba yang didapatkan setelah menjadi Arumpone di tempatkan di Limpenno. Orang Panyula dan orang Limpennolah yang mempersembahkan ikan. Dia pula yang menjadi pendayung perahunya dan pengusungnya jika Arumpone bepergian jauh.

Setelah genap 72 tahun menjadi Mangkau’ di Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan bahwa ;

”Saya mengumpulkan kalian untuk memberitahukan bahwa mengingat usia saya sudah tua dan kekuatan saya sudah semakin melemah, maka saya bermaksud untuk memindahkan kekuasaan saya sebagai Mangkau’ di Bone. Pengganti saya adalah anak saya yang bernama We Banrigau Daeng Marowa yang digelar MakkaleppiE”.

Mendengar itu, semua orang Bone menyatakan setuju. Maka dikibarkanlah bendera WoromporongE. Setelah itu berkata lagi Arumpone ;

”Di samping saya menyerahkan kekuasaan, juga saya serahkan perjanjian yang telah disepakati oleh orang Bone dengan Puatta Mulaiye Panreng untuk dilanjutkan oleh anak saya”.

Setelah orang Bone kembali, hanya satu malam saja Arumpone meninggal dunia.

Anak La Saliyu Karampeluwa dengan isterinya We Tenri Roppo Arung Paccing, adalah ; We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE kawin dengan sepupunya yang bernama La Tenri Bali Arung Kaju. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Sukki, La Panaungi To Pawawoi Arung Palenna, La Pateddungi To Pasampoi, La Tenri Gora Arung Cina juga Arung di Majang, La Tenri Gera’ To Tenri Saga, La Tadampare (meninggal dimasa kecil), We Tenri Sumange’ Da Tenri Wewang, We Tenri Talunru Da Tenri Palesse.

Adapun anak La Saliyu Karampeluwa dari isterinya yang bernama We Tenro Arung Amali yaitu La Mappasessu kawin dengan We Tenri Lekke’.

La Saliyu Karampeluwa tiga bersaudara. Saudara perempuannya yang bernama We Tenri Pappa kawin dengan La Tenri Lampa Arung Kaju melahirkan La Tenri Bali (suami We Banrigau), sedangkan saudara perempuannya yang bernama We Tenri Roro kawin dengan La Paonro Arung Pattiro, lahirlah La Settia Arung Pattiro yang selanjutnya kawin dengan We Tenri Bali.


Nextpage --> We Banrigau Daeng Marowa (1496 – 1516)

We Banrigau Daeng Marowa (1496 – 1516)

We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE menggantikan ayahnya La Saliyu Karampeluwa sebagai Mangkau’ di Bone. We Banrigau digelar pula Bissu Lalempili dan Arung Majang.

Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, We Banrigau menyuruh Arung Katumpi yang bernama La Datti untuk membeli Bulu’ Cina (gunung Cina) senilai 90 ekor kerbau jantan. Akhirnya gunung yang terletak di sebelah barat Kampung Laliddong itu benar-benar dibelinya.

Kemudian disuruhlah Arung Katumpi untuk menempati gunung tersebut dan sekaligus menjaganya. Karena jennang (penjaga) gunung Arumpone dibunuh oleh orang Katumpi, maka digempurlah Katumpi oleh orang Bone sehingga dirampaslah sawahnya yang ada di sebelah timur dan barat Kampung Laliddong. Saudaranya yang bernama La Tenri Gora itulah yang diserahkan Majang dan Cina, maka La Tenri Gora disebut sebagai Arung Majang dan Arung Cina. Sedangkan anak pertamanya yang bernama La Tenri Sukki dipersiapkan untuk menjadi Mangkau’ di Bone.

Setelah kurang lebih 18 tahun lamanya dipersiapkan untuk memangku Kerajaan di Bone, maka dilantiklah La Tenri Sukki menjadi Mangkau’ di Bone dan menempati Saoraja Bone. MakkaleppiE bersama anak bungsunya yang bernama La Tenri Gora memilih untuk bertempat tinggal di Cina.

Suatu saat ketika berada di Cina, MakkaleppiE naik ke atas loteng rumahnya. Tiba-tiba ada api yang menyala di atas loteng (menurut keyakinan orang disebut = api dewata). Setelah api itu padam, maka MakkaleppiE tidak nampak lagi di tempat duduknya. Oleh karena itu, We Banrigau Daeng Marowa dinamakan MallajangE ri Cina.

La Tenri Sukki yang menggantikan ibunya sebagai Arumpone kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Songke, anak dari La Mappasessu dengan We Tenri Lekke. Dari perkawinan ini lahirlah La Uliyo Bote’E. La Panaongi To Pawawoi yang kemudian menjadi Arung Palenna. La Panaongi kawin dengan We Tenri Esa’ Arung Kaju saudara perempuan We Tenri Songke. Dari perkawinan ini lahirlah La Pattawe Daeng Sore MatinroE ri Bettung.

Anak La Tenri Sukki yang lain adalah ; La Pateddungi To Pasampoi kawin dengan We Malu Arung Toro melahirkan anak perempuan yang bernama We Tenri Rubbang Arung Pattiro. La Tenri Gera’ To Tenri Saga MacellaE Weluwa’na menjadi Arung di Timpa. Inilah yang kemudian kawin dengan We Tenri Sumpala Arung Mampu, anak dari La Potto To Sawedi Arung Mampu Riaja dengan isterinya We Cikodo Datu Bunne. Dari perkawinan ini lahirlah We Mappewali I Damalaka. Inilah yang kawin dengan anak sepupunya yang bernama La Gome To Saliwu Riwawo, lahirlah La Saliwu Arung Palakka dan juga Maddanreng di Mampu. La Saliwu kemudian kawin dengan MassalassaE ri Palakka yang bernama We Lempe, lahirlah La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng.

Selanjutnya La Tenri Sukki melahirkan La Tadampare (meninggal dimasa kecil). Berikutnya We Tenri Sumange I Da Tenri Wewang kawin dengan La Tenri Giling Arung Pattiro MaggadingE anak dari La Settia Arung Pattiro dengan isterinya We Tenri Bali. Lahirlah We Tenri Wewang DenraE yang kemudian kawin dengan sepupunya La Uliyo Bote’E.

Anak berikutnya adalah We Tenri Talunru I Da Tenri Palesse. Kemudian We Tenri Gella kawin dengan La Malesse Opu Daleng Arung Kung. Lahirlah We Tenri Gau yang kemudian kawin dengan La Uliyo Bote’E, lahirlah We Temmarowe Arung Kung. Inilah yang kawin dengan La Polo Kallong anak La Pattanempunga, turunan ManurungE ri Batulappa

Nextpage --> La Tenri Sukki (1516 – 1543)

La Tenri Sukki (1516 – 1543)

Inilah Mangkau’ di Bone yang diserang oleh Datu Luwu yang bernama Dewa Raja yang digelar Batara Lattu. Mula-mula orang Luwu mendarat di Cellu dan disitulah membuat pertahanan. Sementara orang Bone berkedudukan di Biru-biru.

Adapun taktik yang dilakukan oleh orang Bone adalah memancing orang Luwu dengan beberapa perempuan. Pancingan ini berhasil mengelabui orang Luwu sehingga pada saat perang berlangsung orang Luwu yang pada mulanya menyangka tidak ada laki-laki, bersemangat menghadapi perempuan-perempuan tersebut. Namun dari belakang muncul laki-laki dengan jumlah yang amat banyak, sehingga orang Luwu berlarian ke pantai untuk naik ke perahunya. Dalam perang itu orang Bone berhasil merampas bendera orang Luwu.

Setelah perang selesai, Arumpone dan Datu Luwu mengadakan pertemuan. Arumpone mengembalikan payung warna merah itu kepada Datu Luwu, tetapi Datu Luwu mengatakan ;

”Ambillah itu payung sebab memang engkaulah yang dikehendaki oleh DewataE (Tuhan) untuk bernaung di bawahnya. Walaupun bukan karena perang engkau ambil, saya akan tetap berikan. Apalagi saya memang memiliki dua payung”.

Mulai dari peristiwa itu , La Tenri Sukki digelar MappajungE (memakai payung).

Selanjutnya La Tenri Sukki mengadakan lagi pertemuan dengan Datu Luwu To Serangeng Dewa Raja dan lahirlah suatu perjanjian yang bernama ; Polo MalelaE ri Unynyi (gencatan senjata di Unynyi).

Dalam perjanjian ini Arumpone La Tenri Sukki berkata kepada Datu Luwu ;

”Alangkah baiknya kalau kita saling menghubungkan Tanah Bone dengan Tanah Luwu”.

Dijawab oleh Datu Luwu ;

”Baik sekali pendapatmu itu, Arumpone”.

Merasa ajakannya disambut baik,Arumpone berkata ;

”Kalau ada yang keliru, mari kita saling mengingatkan – kalau ada yang rebah mari kita saling menopang – dua hamba satu Arung – tindakan Luwu adalah tindakan Bone – tindakan Bone adalah tindakan Luwu – baik dan buruk kita bersama – tidak saling membunuh – saling mencari kebaikan – tidak saling mencurigai – tidak saling mencari kesalahan – walaupun baru satu malam orang Luwu berada di Bone, maka menjadilah orang Bone – walaupun baru satu malam orang Bone berada di Luwu, maka menjadilah orang Luwu – bicaranya Luwu, bicaranya Bone – bicaranya Bone, bicaranya Luwu – adatnya Luwu, adatnya juga Bone, begitu pula sebaliknya – kita tidak saling menginginkan emas murni dan harta benda – barang siapa yang tidak mengingat perjanjiannya, maka dialah yang dikutuk oleh Dewata SeuwaE sampai kepada anak cucunya – dialah yang hancur bagaikan telur yang jatuh ke batu –”

Kalimat ini diiyakan oleh Datu Luwu To Serangeng Dewa Raja. Perjanjian ini bernama ”Polo MalelaE ri Unynyi” karena terjadi di Kampung Unynyi. Kemudian keduanya kembali ke negerinya.

Dimasa pemerintahan La Tenri Sukki, pernah pula terjadi permusuhan antara orang Bone dengan orang Mampu. Pertempuran terjadi di sebelah selatan Itterung, diburu sampai di kampungnya. Arung Mampu yang bernama La Pariwusi kalah dan menyerahkan persembahan kepada Arumpone.

Arung Mampu berkata ;

”Saya serahkan sepenuhnya kepada Arumpone, asalkan tidak menurunkan saya dari pemerintahanku”.

Arumpone menjawab ;

”Saya akan mengembalikan persembahanmu dan saya akan mendudukkanmu sebagai Palili (wilayah bawahan) di Bone. Akan tetapi engkau harus berjanji untuk tidak berpikir jelek dan jujur sebagai pewaris harta benda”.

Sesudah itu, dilantiklah Arung Mampu memimpin kampungnya dan kembalilah Arumpone ke Bone.

La Tenri Sukki menjadi Mangkau’ di Bone selama 20 tahun, akhirnya menderita sakit. Dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan ;

”Saya sekarang dalam keadaan sakit, apabila saya wafat maka yang menggantikan saya adalah anakku yang bernama ; La Uliyo”.

Setelah pesan itu disampaikan, ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Anak La Tenri Sukki dari isterinya We Tenri Songke, adalah La Uliyo Bote’E kawin dengan sepupunya yang bernama We Tenri Wewang DenraE, anak saudara kandung La Tenri Sukki yang bernama We Tenri Sumange’ dengan suaminya yang bernama La Tenri Giling Arung Pattiro MaggadingE. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Rawe BongkangE, La Inca, We Lempe, We Tenri Pakkuwa.

Selain La Uliyo, ialah ; We Denra Datu, We Sida (tidak disebutkan dalam lontara’ yang digulung).

We Sida Manasa kawin dengan La Burungeng Daeng Patompo, anak dari La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna dari isterinya yang bernama We Mappasunggu. Dari perkawinan ini lahirlah anak laki-laki yang bernama La Paunru Daeng Kelli.


Nextpage --> La Uliyo Bote’E (1543 – 1568)

La Uliyo Bote’E (1543 – 1568)

La Uliyo Bote’E menggantikan ayahnya La Tenri Sukki sebagai Mangkau’ di Bone. Digelar Bote’E karena dia memiliki postur tubuh yang subur (gempal). Konon sewaktu masih kanak-kanak ia sudah kelihatan besar dan kalau diusung, pengusung lebih dari tujuh orang.

La Uliyo dikenal suka menyabung ayam, kawin dengan We Tenri Wewang DenraE anak Arung Pattiro MaggadingE dengan isterinya We Tenri Sumange’.

Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddong. Dia pulalah yang mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa yang bernama Daeng Matanre. Dalam perjanjian tersebut dijelaskan Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni di Tamalate ;

”Kalau ada kesulitan Bone, maka laut akan berdaun untuk dilalui oleh orang Mangkasar. Kalau ada kesulitan orang Gowa, maka gundullah gunung untuk dilalui orang Bone. Tidak saling mencurigai, tidak saling bermusuhan Bone dengan Gowa, saling menerima dan saling memberi, siapa yang memimpin Gowa, dialah yang melanjutkan perjanjian ini, siapa yang memimpin Bone dialah yang melanjutkan perjanjian ini sampai kepada anak cucunya. Barang siapa yang mengingkari perjanjian ini, pecahlah periuk nasinya – seperti pecahnya telur yang jatuh ke batu”.

Arumpone inilah yang mengalahkan Datu Luwu yang tinggal di Cenrana. Pada masa pemerintahannya pulalah Bone mulai dikuasai oleh Gowa. Dalam lontara’ dijelaskan bahwa KaraengE ri Gowa duduk bersama Arumpone di sebelah selatan Laccokkong.

Pada saat itu antara orang Bone dengan orang Gowa saling membunuh. Kalau orang Gowa yang membunuh, maka Arumpone yang mengurus jenazahnya. Begitu pula kalau orang Bone yang membunuh, maka KaraengE ri Gowa yang mengurus jenazahnya. Arumpone ini pula yang menemani KaraengE ri Gowa pergi meminta persembahan orang Wajo di Topaceddo.

Setelah genap 25 tahun menjadi Mangkau’ di Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone. Setelah semuanya berkumpul, disampaikanlah bahwa ;

”Saya akan menyerahkan Akkarungeng ini kepada anakku yang bernama La Tenri Rawe”.

Mendengar pernyataan Arumpone tersebut, seluruh orang Bone setuju. Maka dilantiklah anaknya menjadi Arumpone. Acara pelantikan itu berlangsung meriah selama tujuh hari tujuh malam.

Karena kedudukannya sebagai Arumpone telah diserahkan kepada anaknya, maka La Uliyo Bote’E hanya bolak balik antara isterinya di Bone dengan isterinya di Mampu.

La Uliyo Bote’E pernah memarahi kemenakannya yang bernama La Paunru dengan sepupunya yang menjadi Arung Paccing yang bernama La Mulia. Keduanya pergi meminta bantuan kepada Kajao Laliddong agar diminta maafkan. Tetapi sebelum rencana itu terlaksana, La Uliyo Bote’E pergi ke Mampu untuk menyabung ayam. Tiba-tiba ia melihat kemenakannya dan sepupunya membuat hatinya semakin dongkol. Ia pun segera kembali ke Bone.

La Paunru dan La Mulia berpendapat lebih baik kita menyerahkan diri kepada Kajao Laliddong di Bone untuk selanjutnya diminta maafkan kepada Bote’E. Makanya setelah Bote’E meninggalkan Mampu, keduanya mengikut dari belakang.

Setelah sampai di Itterung, La Uliyo Bote’E menoleh ke belakang, dilihatnya La Paunru bersama La Mulia berjalan mengikutinya. Karena disangkanya La Paunru dan La Mulia berniat jahat terhadapnya, maka ia pun berbalik menyerangnya. La Paunru dan La Mulia walaupun tidak bermaksud melawan, namun karena terdesak oleh serangan La Uliyo akhirnya keduanya terpaksa melawan. Dalam perkelahian tersebut, baik La Paunru maupun La Uliyo tewas di tempat, sedangkan La Mulia dibunuh oleh orang yang datang membantu La Uliyo.Sejak itu, digelarlah La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.

Adapun anak La Uliyo Bote’E dari isterinya yang bernama We Tenri Wewang DenraE, adalah La Tenri Rawe BongkangE. Inilah yang menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone. La Tenri Rawe kawin dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE.

Anak berikutnya adalah La Inca, dialah yang menggantikan saudaranya menjadi Mangkau’ di Bone. La Inca kawin dengan janda saudaranya, We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE.

Anaknya yang berikut, We Lempe yang kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Saliwu Arung Palakka, anak dari We Mangampewali I Damalaka dengan suaminya La Gome. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng.

Selanjutnya We Tenri Pakkuwa, kawin dengan La Makkarodda To Tenri Bali Datu Mario. Sesudah We Tenri Pakkuwa adalah We Danra MatinroE ri Bincoro. Tidak disebutkan turunannya dalam lontara’

Adapun anak La Uliyo Bote’E dari isterinya yang bernama We Tenri Gau Arung Mampu adalah We Balole I Dapalippu. Inilah yang kawin dengan paman sepupu ayahnya yang bernama La Pattawe Arung Kaju MatinroE ri Bettung, anak dari saudara La Tenri Sukki MappajungE yang bernama La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna dengan isterinya We Tenri Esa’ Arung Kaju.

Sesudah We Balole adalah Sangkuru’ Dajeng Petta BattowaE Massao LampeE ri Majang. Dia digelar pula sebagai Arung Kung, tidak disebutkan keturunannya dalam lontara’.


Nextpage --> La Tenri Rawe BongkangE (1568 – 1584)

La Tenri Rawe BongkangE (1568 – 1584)

La Tenri Rawe BongkangE menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E menjadi Arumpone. La Tenri Rawe kawin dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE anak dari La Maddussila dengan isterinya We Tenri Lekke.

La Tenri Rawe dengan isterinya Arung Timurung melahirkan anak yang bernama La Maggalatung, inilah yang dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota menggantikan ayahnya sebagai Arumpone, dia meninggal dunia semasa kecil. Yang kedua bernama La Tenri Sompa dipersiapkan untuk menjadi Arung Timurung, tetapi juga meninggal karena dibunuh oleh orang yang bernama Dangkali.

Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Rawe sangat dicintai oleh orang banyak karena memiliki sifat-sifat seperti ; berbudi pekerti yang baik, jujur, dermawan, adil dan sangat bijaksana. Dia tidak membedakan antara keluarganya yang memiliki turunan bangsawan dengan keluarganya dari orang biasa.

Sebagai Arumpone, La Tenri Rawe yang pertamalah membagi tugas-tugas (makkajennangeng) seperti: yang bertugas mengurus jowa (pengawal), yang bertugas mengurus anak bangsawan dan yang mengurus wanuwa.

Pada masa pemerintahannya pernah dikunjungi oleh KaraengE ri Gowa masuk ke Bone untuk menyabung ayam. Dalam pertarungan itu, ayam KaraengE ri Gowa terbunuh oleh ayam Arumpone dengan taruhan seratus kati. Pada masa pemerintahannya pula seluruh orang Ajangale’ datang menggabungkan diri di Bone. Ditaklukkanlah Awo Teko, Attassalo dan lain-lain.

TellumpoccoE juga datang menggabungkan Babanna Gowa di Bone dan diterima kemudian didudukkanlah sebagai daerah bawahan dari Bone. Hal ini membuat KaraengE ri Gowa marah dan menyusul masuk ke Bone. Bertemulah orang Gowa dengan orang Bone di sebelah selatan Mare dan berperang selama tujuh hari tujuh malam, baru berdamai. Jelaslah kekuasaan orang Bone pada bahagian selatan Sungai Tangka ke atas.

Datu Soppeng Rilau yang diturunkan dari tahtanya datang ke Bone untuk minta perlindungan. Karena Datu Soppeng Rilau yang bernama La Makkarodda To Tenri Bali MabbeluwaE merasa terdesak. Tidak lama setelah berada di Bone, ia pun kawin dengan saudara Arumpone yang bernama We Tenri Pakkuwa. Dari perkawinannya itu lahir anak perempuan , We Dangke atau We Basi LebaE ri Mario Riwawo.

Saudara Arumpone yang bernama We Lempe kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Saliwu Arung Palakka. Dari perkawinannya itu melahirkan anak ; La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Dangke. La Tenri Ruwa adalah nenek MatinroE ri Bontoala.

Suatu saat, Bone didatangi oleh Gowa dan terjadilah perang di Cellu. Perang berlangsung selama lima hari lima malam dan orang Gowa mundur. Dua tahun kemudian datang KaraengE ri Gowa untuk menyerang lagi. Kali ini perang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Orang Gowa mengambil tempat pertahanan di Walenna, tetapi KaraengE ri Gowa tiba-tiba terserang penyakit, maka ia harus kembali ke kampungnya. Konon, ketika sampai di Gowa ia pun meninggal dunia.

Hanya kurang lebih dua bulan kemudian, datang lagi KaraengE ri Gowa yang bernama Daeng Parukka yang menggantikan ayahnya untuk kembali menyerang Bone. Mendengar bahwa Gowa kembali, maka seluruh orang Ajangale’ dan orang Timurung datang membantu Bone. Adapun Limampanuwa Rilau Ale’ berkedudukan di Cinennung.

Sementara orang Awampone berkedudukan di Pappolo berdekatan dengan benteng pertahanan KaraengE ri Gowa. Terjadilah perang yang sangat dahsyat. Orang Gowa menyerbu ke arah selatan, membakar Kampung Bukaka dan Takke Ujung. Akhirnya Karaeng Gowa tewas terbunuh.

Daeng Padulung salah seorang pembesar Gowa yang menjadi pemimpin perang nampaknya sudah kewalahan menghadapi serangan orang Bone. Oleh karena itu Karaeng Tallo memerintahkan utusannya untuk menemui Arumpone. Adapun yang disampaikan oleh utusan Karaeng Tallo adalah ;

”Kami telah kehilangan dua Karaeng (pemimpin) yaitu satu tewas di tempat tidur dan satu lagi tewas di lapangan. Tetapi sekarang kami menghendaki kebaikan”.

Berkata Kajao Laliddong ;

”Kalau begitu pendapatmu, besok pagi saya akan menemui KaraengE”.

Keesokan harinya keluarlah Kajao Laliddong selaku penasehat Arumpone untuk menemui KaraengE ri Tallo. Dalam pertemuannya itu, terjadilah kesepakatan mengangkat Daeng Patobo menjadi Karaeng ri Gowa.

Ketika menjadi Arumpone La Tenri Rawe BongkangE pernah bertentangan dengan Datu Luwu yang bernama Sagariya karena orang Luwu naik lagi ke Cenrana. Maka wanuwa Cenrana telah dua kali direbut dengan kekuatan senjata (riala bessi) oleh orang Bone.

Untuk memperkuat kedudukan Bone sebagai suatu kerajaan yang tangguh, La Tenri Rawe menjalin hubungan kerja sama dengan Arung Matowa Wajo yang bernama To Uddamang. Begitu juga dengan Datu Soppeng yang bernama PollipuE. Maka diadakanlah pertemuan di Cenrana untuk memperkuat hubungan antara Bone, Soppeng dan Wajo.

Adapun kesepakatan yang diambil di Cenrana adalah ketiganya akan mengadakan pertemuan lanjutan di Timurung. Setelah sampai pada waktu yang telah ditentukan, maka berkumpullah orang Bone, orang Soppeng dan orang Wajo di suatu tempat yang bernama Bunne. Ketiganya mengucapkan ikrar ;

”Tessiabiccukeng – Tessiacinnai ulaweng tasa – Pattola malampe waramparang maega” (tidak saling memandang rendah – tidak saling iri hati – saling mengakui kepemilikan).

Setelah itu barulah ketiganya mallamumpatu (meneggelamkan batu) sebagai tanda kuatnya perjanjian tersebut, sehingga disebutlah – LamumpatuE ri Timurung.

Inilah catatan yang menjelaskan TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) yang terkandung dalam perjanjian yang diadakan oleh La Tenri Rawe BongkangE (Bone), To Uddamang (Wajo) dan La Mata Esso (Soppeng).

Ketika sampai pada hari yang telah disepakati, bertemulah di Timurung. Datanglah Arumpone, diikuti oleh seluruh Palili Bone. Datang juga Arung Matowa Wajo yang bernama La Mungkace To Uddamang MatinroE ri Kanana. Selanjutnya datang juga Datu Soppeng yang bernama La Mappaleppe PatolaE Arung Belo MatinroE ri Tanana. Diikuti pula oleh seluruh Palili Soppeng dan Wajo.

Pertemuan tiga kerajaan yang lebih dikenal dengan nama Pertemuan TellumpoccoE tersebut diadakan di Timurung di suatu kampung kecil yang bernama Bunne.

Dalam pertemuan tersebut Arung Matowa Wajo bertanya kepada Arumpone ;

”Bagaimana mungkin Arumpone, untuk kita hubungkan tanah kita bertiga, sementara Wajo adalah kekuasaan Gowa. Kemudian kita tahu bahwa antara Bone dengan Gowa juga memiliki hubungan yang kuat”.

Arumpone menjawab ;

”Itu pertanyaan yang bagus Arung Matowa. Tetapi yang menjalin hubungan disini adalah Bone, Soppeng dan Wajo. Selanjutnya Bone menjalin hubungan dengan Gowa. Kalau Gowa masih mau menguasai Wajo, maka kita bertiga melawannya”.

Pernyataan Arumpone tersebut diiyakan oleh Arung Matowa Wajo.

Berkata pula PollipuE ri Soppeng ;

”Bagus sekali pendapatmu Arumpone, tanah kita bertiga bersaudara. Tetapi saya minta agar tanah Soppeng adalah pusaka tanah Bone dan Wajo. Sebab yang namanya bersaudara, berarti sejajar”.

Arumpone menjawab ;

”Bagaimana pendapatmu Arung Matowa, sebab menurutku apa yang dikatakan oleh PollipuE adalah benar”.

Arung Matowa Wajo menjawab ;

”Saya kira tanah kita bertiga akan rusak apabila ada yang namanya – sipoana’ (ada yang menganggap dirinya tua dan ada yang muda).

Berkata lagi Arumpone ;

”Saya setuju dengan itu, tetapi tidak apalah saya berikan kepada Soppeng Gowagowa dan sekitarnya untuk penambah daki, agar tanah kita bertiga tetap bersaudara”.

Berkata pula Arung Matowa Wajo ;

”Bagus pendapatmu Arumpone, saya juga akan memberikan Soppeng penambah daki yaitu Baringeng, Lompulle dan sekitarnya”.

Datu Soppeng dan Tau TongengE berkata ;

”Terima kasih atas maksud baikmu itu, karena tanah kita bertiga telah bersaudara, tidak saling menjerumuskan kepada hal yang tidak dikehendaki, kita bekerja sama dalam hal yang kita sama kehendaki”.

Berkata Arumpone dan Arung Matowa Wajo ;

”Kita bertiga telah sepakat, maka baiklah kita bertiga meneggelamkan batu, disaksikan oleh Dewata SeuwaE, siapa yang mengingkari perjanjiannya dialah yang ditindis oleh batu itu”.

Berkatalah Arung MatowaE ri Wajo kepada Kajao Laliddong sebagai orang pintarnya Bone ;

”Janganlah dulu menanam itu batu, Kajao! Sebab saya masih ada yang akan kukatakan bahwa persaudaraan TellumpoccoE tidak akan saling menjatuhkan, tidak saling berupaya kepada hal-hal yang buruk, janganlah kita mengingkari perjanjian, siapa yang tidak mau diingatkan, dialah yang kita serang bersama (diduai), dia yang kita tundukkan”.

Pernyataan Arung MatowaE tersebut disetujui oleh Arumpone dan Datu Soppeng. Setelah itu ketiganya berikrar untuk ;

Malilu sipakainge – rebba sipatokkong – sipedapiri ri peri’ nyameng – tellu tessibaicukkeng – tessi acinnai ulaweng tasa – pattola malampe waramparang maega – iya teya ripakainge iya riadduai” (yang khilaf diingatkan – yang rebah ditopang – saling menyampaikan kesulitan dan kesenangan – tiga tidak ada yang dikecilkan – tidak saling merebut kekayaan – saling mengakui hak kepemilikan).

Inilah isi perjanjian TellumpoccoE yang ditindis batu di Timurung, disaksikan oleh Dewata SeuwaE. Ikrar kesetiaan ini dipegang erat-erat oleh ketiganya.

Dua tahun setelah perjanjian TellumpoccoE, La Tenri Rawe BongkangE memanggil saudaranya yang bernama La Inca. Kepada La Inca, La Tenri Rawe menyampaikan bahwa setelah sampai ajalnya, maka saudaranyalah La Inca yang diserahkan kedudukan sebagai Mangkau’ di Bone karena dirinya tidak memiliki anak pattola (putra mahkota).

Karena pada saat meninggal, jenazahnya dibakar dan abunya dimasukkan ke dalam guci, maka digelarlah La Tenri Rawe BongkangE MatinroE ri Gucinna.


Nextpage --> La Inca (1584 – 1595)

La Inca (1584 – 1595)

Menggantikan saudaranya La Tenri Rawe sebagai Arumpone. Kedudukan ini memang telah diserahkan ketika La Tenri Rawe masih hidup. Bahkan La Tenri Rawe berpesan kepadanya agar nanti kalau sampai ajalnya, La Inca dapat mengawini iparnya (isteri La tenri Rawe) yaitu We Tenri Pakiu Arung Timurung.

Setelah menjadi Mangkau’, KaraengE ri Gowa datang untuk menyerang Bone. Ternyata La Inca tidak mewarisi kepemimpinan yang telah dilakukan oleh saudaranya. Banyak langkah-langkahnya yang sangat merugikan orang banyak. Para Arung Lili dimarahi dan dihukumnya. Salah seorang Arung Lili yang bernama La Patiwongi To Pawawoi diasingkan ke Sidenreng. Karena sudah terlalu lama berada di Sidenreng, maka ia pun kembali ke Bone untuk minta maaf.

Namun apa yang dialami setelah kembali ke Bone, dia malah diusir dan dibunuh. Arung Paccing dan cucunya yang bernama La Saliwu, Maddanreng Palakka yang bernama To Saliwu Riwawo serta masih banyak lagi bangsawan Bone yang dibunuhnya.

Pada suatu hari dia melakukan tindakan yang sangat memalukan yaitu mengganggu isteri orang. Karena didapati oleh suaminya, ia lantas mengancam orang tersebut akan dibunuhnya, sehingga orang tersebut melarikan diri. Untuk menutupi kesalahannya, isteri orang tersebut yang dibunuh. Ia pun membakar sebahagian Bone sampai di Matajang dan Macege. Orang Bone pun mengungsi sampai ke Majang.

Melihat orang Bone pada datang, Arung Majang bertanya ;

”Ada apa gerangan di Bone?”

Dengan ketakutan orang Bone berkata ;

”Kami tidak bisa mengatakan apa-apa, Puang. Silahkan Puang melihat sendiri bagaimana Bone sekarang”.

Mendengar laporan orang Bone, Arung Majang keluar melihat ke arah Bone. Disaksikannyalah api yang melalap rumah-rumah penduduk yang dilakukan oleh La Inca. Arung Majang lalu menyuruh beberapa orang untuk pergi ke Palakka memanggil I Damalaka. Tidak lama kemudian I Damalaka tiba di Majang. Sesampainya di rumah Arung Majang ia pun disuruh untuk ke Bone menghadapi La Inca.

I Damalaka menyuruh salah seorang untuk pergi menemui Arumpone dan menyampaikan agar tindakannya itu dihentikan. Akan tetapi setelah orang itu tiba di depan La Inca, ia pun dibunuh. Setelah itu , La Inca lalu membakar semua rumah yang ada di Lalebbata. Maka habislah rumah di Bone.

Mendengar itu, Arung Majang pergi ke Bone disusul oleh I Damalaka untuk menghadapi La Inca yang tidak lain adalah cucunya sendiri.

“Mari kita menghadapi La Inca, dia bukan lagi sebagai Arumpone karena telah melakukan pengrusakan”.

Berangkatlah semua orang mengikuti Arung Majang termasuk I Damalaka.

Didapatinya La Inca sendirian di depan rumahnya. Setelah melihat orang banyak datang, La Inca lalu menyerbu dan menyerang membabi buta. Banyak orang yang dibunuhnya pada saat itu dan kurang yang mampu bertahan, akhirnya La Inca kehabisan tenaga. Karena merasa sangat payah, ia pun melangkah menuju tangga rumahnya. Ia bersandar dengan nafas yang terputus-putus.

Melihat cucunya sekarat, Arung Majang berlari mendekati dan memangku kepalanya. La Inca pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Oleh karena itu disebutlah MatinroE ri Addenenna (meninggal di tangga rumahnya).

Adapun anak La Inca MatinroE ri Addenenna dari isterinya We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE adalah ; La Tenri Pale To Akkeppeang kawin dengan kemenakannya yang bernama We Palettei KanuwangE anak dari We Tenri Patuppu dengan suaminya To Addussila. Kemudian La Tenri Pale kawin lagi dengan We Cuku anak Datu Ulaweng. Dari perkawinan ini lahirlah We Pakkawe kemudian melahirkan We Panynyiwi Arung Mare.

We Panynyiwi kawin dengan pamannya sepupu dari ibunya MatinroE ri Bukaka. Dari perkawinan ini lahirlah We Daompo yang kawin dengan La Uncu Arung Paijo. Lahirlah La Tenri Lejja. Inilah yang melahirkan La Sibengngareng yang kemudian menjadi Maddanreng di Bone.

Anak La Inca berikutnya adalah We Tenri Sello MakkalaruE kawin dengan kemenakannya yang bernama La Pancai To Patakka Lampe Pabbekkeng, anak dari We Tenri Pala dengan suaminya To Alaungeng Arung Sumaling. Lahirlah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka, kemudian lahir pula La Tenri Aji MatinroE ri Siang. Selanjutnya lahir We Tenri Ampa Arung Cellu yang kawin dengan To MannippiE Arung Salangketo yang kemudian melahirkan We Tenri Talunru.


Nextpage --> La Pattawe (1595 – 1602)

La Pattawe (1595 – 1602)

Menggantikan sepupunya La Inca sebagai Mangkau’ di Bone. Dikumpulkanlah seluruh orang Bone oleh Arung Majang. Kepada orang banyak, Arung Majang berkata ;

Inilah cucuku yang bernama La Pattawe yang kita sepakati menggantikan sepupunya.

La Pattawe adalah anak La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna saudara kandung La Tenri Sukki MappajungE dari isterinya We Tenri Esa’ arung Kaju. La Pattawe adalah anak Arung Palakka turunan MakkaleppiE. Orang Bone sepakat untuk mengangkat La Pattawe menjadi Mangkau’ di Bone.

La Pattawe Daeng Soreang kawin dengan We Balole I Dapalippu Arung Mampu MassalassaE ri Kaju anak dari MatinroE ri Itterung dari isterinya We Tenri Gau Arung Mampu yang selanjutnya melahirkan We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng. We Tenri Patuppu melahirkan We Tenri Pateya I Dajai yang kawin dengan La Pangerang Arung Maroanging.

Selanjutnya La Pattawe kawin dengan We Samakella Datu Ulaweng saudara We Tenri Pakiu Arung Timurung, lahirlah We Parappu Datu Ulaweng. Inilah yang kawin dengan La Papesa Datu Sailong anak dari La Tenri Adeng Datu Sailong saudara laki-laki We Tenri Pakiu Arung Timurung.

La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng kawin dengan sepupunya yang bernama We Baji yang biasa juga dinamakan We Dangke LebaE ri Mario Riwawo. Dari perkawinan ini lahirlah We Tenri Sui Datu Mario Riwawo. Inilah yang melahirkan La Tenri Tatta Petta To RisompaE dan nenek MatinroE ri Nagauleng.

La Pattawe, tidak terlalu banyak disebut langkah-langkahnya dalam pemerintahannya. Hanya dikatakan bahwa setelah tujuh tahun menjadi Mangkau’ di Bone, ia pergi ke Bulukumba dan di situlah dia sakit. Dia meninggal di Bettung sehingga disebut MatinroE ri Bettung.


Nextpage --> We Tenri Patuppu (1602 – 1611)

We Tenri Patuppu (1602 – 1611)

YWe Tenri Patuppu menggantikan ayahnya menjadi Arumpone. Inilah Mangkau’ yang mula-mula mengangkat Arung Pitu (tujuh pemegang adat) di Bone. Ketujuh Matowa (Kepala Wanuwa) yang ditunjuk, adalah ; Matowa Tibojong (Arung Tibojong), Matowa Ta’ (Arung Ta’), Matowa Tanete (Arung Tanete), Tanete dipecah menjadi Tanete Riattang dan Tanete Riawang, Matowa Macege (Arung Macege), Matowa Ujung (Arung Ujung) dan Matowa Ponceng (Arung Ponceng).

We Tenri Patuppu berkata kepada Arung PituE ;

Saya mengangkat kalian sebagai Arung Pitu untuk membantu saya dalam menyelenggarakan pemerintahan di Bone. Hal ini saya lakukan karena saya adalah seorang perempuan yang tentunya memerlukan bantuan. Namun perlu kalian tahu bahwa saya mengangkatmu menjadi pemegang adat, tetapi kalian tetap ; tidak bisa melangkahi adat Bone, tidak bisa menyatakan perang, tidak bisa mewariskan kepada anak cucu, kalau saya tidak mengetahuinya. Kacuali apabila duduk semua turunan MappajungE kemudian direstui oleh Mangkau’ Bone.

Pada masa pemerintahan We Tenri Patuppu di Bone, KaraengE ri Gowa datang ke Ajattappareng membawa agama Islam. Sepakatlah TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) untuk menghalangi, sehingga KaraengE ri Gowa kembali ke kampungnya.

Satu tahun kemudian datang lagi KaraengE ri Gowa ke Padangpadang, dihalangi lagi oleh TellumpoccoE. Bertemulah di sebelah timur Bulu’ Sitoppo dan terjadilah perang yang berakhir dengan kekalahan TellumpoccoE.

Satu tahun kemudian datang lagi KaraengE ri gowa ke Soppeng. Tetapi tidak ada lagi bantuan dari Bone dan Wajo, sehingga Soppeng dikalahkan dan masuklah agama Islam di Soppeng. Datu Soppeng yang menerima Islam bernama BeowE.

Setelah Soppeng menerima Islam, datang KaraengE ri Gowa ke Wajo dan kalahlah orang Wajo. Arung Matowa Wajo yang bernama La Sangkuru yang menerima Islam di Wajo. Sejak itu seluruh orang Wajo memeluk Islam.

Tahun berikutnya setelah orang Wajo masuk Islam, Arumpone We Tenri Patuppu pergi ke Sidenreng untuk menanyakan tentang Islam. Ternyata begitu sampai di Sidenreng langsung masuk Islam. Di Sidenrenglah beliau sakit yang menyebabkan meninggal dunia. Oleh karena itu dinamakanlah We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng.

Semasa hidupnya We Tenri Patuppu kawin dengan La Paddippung Arung Barebbo, kemudian melahirkan anak bernama La Pasoro. Inilah yang kawin dengan We Tasi, lahirlah La Toge MatinroE ri KabuttuE. La Toge kawin dengan We Passao Ribulu, lahirlah We Kalepu yang kawin dengan Daeng Manessa Arung Kading.

Kemudian We Tenri Patuppu bercerai dengan Arung Barebbo, maka kawin lagi dengan To LewoE Arung Sijelling, anak Arung Mampu Riawa. Dari perkawinan ini lahirlah anaknya yang bernama La Maddussila, We Tenri Tana, We Palettei, La Palowe. La Maddussila Arung Mampu yang juga digelar MammesampatuE (memakai nisan batu). Pergi ke Soppeng dan kawin dengan We Tenri Gella, saudara Datu Soppeng yang bernama BeowE. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Bali yang kawin di Bone dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo.

We Bubungeng dan La Tenri Bali melahirkan anak ; La Tenri Senge’ Toasa, inilah yang kemudian menjadi Datu Soppeng. Yang kedua bernama We Yadda MatinroE ri Madello, kemudian menjadi Datu juga di Soppeng.

We Tenri Tana Arung Mampu Riawa kawin dengan LebbiE ri Kaju. Inilah yang melahirkan We Tenri Sengngeng yang kawin dengan La Poledatu Rijeppo saudara Datu Soppeng anak La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE dengan isterinya We Tenri Gella. Inilah yang melahirkan La PatotongE, La PasalappoE, La Pariusi Daeng Mangatta. La Pariusi Daeng Mangatta inilah yang menggantikan Petta I Tenro menjadi Arung Mampu Riawa yang juga pernah menjadi Arung Matowa Wajo.

La PallempaE atau La Pasompereng Petta I Teko kawin dengan KaraengE ri Gowa. Dari perkawinannya lahirlah We Yama dan We Alima. We Alima kawin dengan KaraengE ri Gowa Tumenanga ri Pasi. Lahirlah I Baba Karaeng Tallo. La Pasompereng diasingkan oleh Kompeni sebab perselingkuhan isterinya dengan Sule DatuE di Soppeng yang bernama Daeng Mabbani. Dia membunuh Sule datuE di Soppeng maka diasingkanlah ke Selong.

Anak terakhir dari We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng adalah ; We Palettei KanuwangE, kawin dengan pamannya La Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo. Tidak ada keturunannya, sehingga MatinroE ri Tallo kawin lagi dengan anak Datu Ulaweng.


Nextpage --> La Tenri Ruwa Arung Palakka (1611 – 3 bln)

La Tenri Ruwa Arung Palakka

La Tenri Ruwa Arung Palakka juga sebagai Arung Pattiro adalah sepupu We Tenri Patuppu MatinroE ri Sidenreng. Ketika Arumpone meninggal dunia, orang Bone sepakat untuk mengangkat La Tenri Ruwa menjadi Mangkau’ di Bone.

Belum cukup tiga bulan setelah menjadi Mangkau’, datanglah KaraengE ri Gowa membawa agama Islam ke Bone. Orang Gowa membuat benteng di Cellu dan Palette. Berkatalah Arumpone kepada orang Bone ;

Kalian telah mengangkat saya menjadi Mangkau’ untuk membawa Bone kepada jalan yang baik. KaraengE ri Gowa datang membawa agama Islam yang menurutnya adalah kebaikan. Sesuai dengan perjanjian kita yang lalu, siapa yang mendapatkan kebaikan, dialah yang menunjukkan jalan. Oleh karena itu saya mengajak kalian untuk menerima Islam

KaraengE ri Gowa berkata ;

Menurutku Islam adalah kebaikan dan dapat mendatangkan cahaya terang bagi kita. Oleh karena itu saya berpegang pada agama Nabi. Kalau engkau menerima pendapatku, maka Bone dan Gowa akan menjadi besar untuk bersembah kepada Dewata SeuwaE (Allah SWT)

Berkata lagi Arumpone kepada orang banyak ;

Kalau kalian tidak menerima baik maksud KaraengE padahal dia benar, dia pasti masih memerangi kita dan kalau kita kalah berarti kita menjadi hamba namanya. Tetapi kalau kalian menerima dengan baik, kita dijanji untuk berdamai. Kalau kita melawan, itu adalah wajar. Jangan kalian menyangka bahwa saya tidak mampu untuk melawannya

Ketika itu semua orang Bone menolak Islam. Arumpone La Tenri Ruwa hanya diam, karena dia sudah tahu bahwa orang Bone berpendapat lain. Pergilah Arumpone ke Pattiro dan hanya diikuti oleh keluarga dekatnya. Sesampainya di Pattiro, ia mengajak lagi orang Pattiro untuk menerima agama Islam. Ternyata orang Pattiro juga menolak.

Akhirnya Arumpone naik ke SalassaE (istana) bersama keluarga dan hambanya. Ketika Arumpone ke Pattiro, orang Bone sepakat untuk menjatuhkan La Tenri Ruwa sebagai Arumpone. Diutuslah La Mallalengeng To Alaungeng ke Pattiro untuk menemui Arumpone. Kepada Arumpone La Mallalengeng menyampaikan ;

Saya disuruh oleh orang Bone untuk menyampaikan bahwa bukan lagi orang Bone yang menolak engkau sebagai Mangkau’, tetapi engkau sendiri yang menolak kami semua, karena pada saat Bone menghadapi musuh besar, engkau lalu meninggalkannya

Arumpone menjawab

Saya menyangkal bahwa saya meninggalkan orang Bone, saya hanya menunjukkan jalan kebaikan dan cahaya yang terang. Tetapi kalian tidak mau mengikutinya dan lebih suka memilih jalan kegelapan. Makanya saya pergi meilih jalan kebaikan dan cahaya yang terang itu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya

Ketika To Alaungeng kembali ke Bone, Arumpone La Tenri Ruwa menyuruh salah seorang keluarganya ke Pallette untuk bertemu dengan KaraengE ri Gowa yang sementara berkedudukan di Pallette. Begitu pula KaraengE menyuruh Karaeng Pettu ke Pattiro menemui Arumpone. Sesampainya Karaeng Pettu di Pattiro dan bertemu Arumpone, tiba-tiba tempatnya bertemu itu dikepung oleh orang Pattiro bersama orang SibuluE. Arumpone sekeluarga bersama Karaeng Pettu meninggalkan tempat menuju ke puncak gunung Maroanging.

Setelah itu, pergilah Arumpone menemui KaraengE ri Gowa, sementara Karaeng Pettu tinggal menjaga Pattiro.

Di Pallette Arumpone La Tenri Ruwa ditanya oleh KaraengE ri Gowa ;

Sampai dimana batas kekuasaanmu. Sebab saya tahu bahwa Bone adalah milikmu, sementara menurut berita bahwa akkarungeng telah berpindah di Bone

Arumpone menjawab ;

Yang menjadi milikku adalah Palakka dan Pattiro begitu juga Awampone. Kalau Mario Riwawo adalah milik isteriku

Berkata lagi KaraengE

Sekarang ucapkanlah syahadat, biar Palakka, Pattiro dan Awampone saja yang menerima Islam. Untuk Bone biarkan saja tidak bertuan, Gowa tidak akan memperhambamu.

Arumpone menjawab ;

Karena saya akan mengucapkan syahadat, sehingga saya kemari

Selanjutnya KaraengE ri Gowa berkata ;

Saya juga tahu bahwa Pallette ini adalah milikmu, tetapi kebetulan tempat berdirinya bentengku. Oleh karena itu saya menganggapnya sebagai milikku, namun saya berikan kembali kepadamu

Kemudian KaraengE ri Gowa, Karaeng Tallo dan Arumpone berikrar Pertama diucapkan oleh KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo ;

Inilah yang akan dipersaksikan kepada Dewata SeuwaE bahwa bukanlah turunan KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo yang kelak akan mengganggu hak-hakmu. Kalau ada kesulitan yang engkau hadapi, bukalah pintumu untuk kami masuk pada kesulitan itu”. Lalu Arumpone menjawab ; ”Wahai Karaeng, ikat padiku tidak akan terbuka, tidak sempurna pula kehidupanku dan apa yang ada dalam pikiranku. Kalau ada kesulitan yang menimpa Tanah Gowa, biar sebatang bambu yang dibentangkan, kami akan melaluinya untuk datang membantumu sampai kepada anak cucumu dan anak cucuku, asalkan tidak melupakan perjanjian ini

Setelah ketiganya mengucapkan ikrar, kembalilah Arumpone La Tenri Ruwa ke Pattiro. Lima hari setelah perjanjian itu diucapkan bersama, dibakarlah Bone oleh orang Gowa. Menyerahlah orang-orang Bone dan mengucapkan syahadat. Kemudian KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo kembali ke negerinya.

Sejak La Tenri Ruwa meninggalkan Bone dan berada di Pattiro, sejak itu pula orang Bone menganggapnya bahwa dia bukan lagi Mangkau’ di Bone. Kesepakatan orang Bone adalah mengangkat anak dari MatinroE ri Sapananna (addenenna) yang pada saat itu menjadi Arung Timurung yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang. Adapun La Tenri Ruwa setelah KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo kembali ke negerinya, diusir oleh orang Bone agar meninggalkan Bone. Arumpone inilah yang dianggap mula-mula menerima agama Islam dari KaraengE ri Gowa dan Karaeng Tallo.

La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng berangkat ke Su’ (Mangkasar) dan tinggal pada Dato’ ri Bandang. Ia pun diberi nama Arab yaitu Sultan Adam. Disuruhlah memilih tempat oleh Dato’ dan KaraengE ri Gowa. Tempat yang dipilihnya adalah Bantaeng dan di Bantaenglah ia meninggal, oleh karena itu dinamakan MatinroE ri Bantaeng.

La Tenri Ruwa kawin dengan sepupunya yang bernama We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo yang kemudian disebut juga Datu’ Mario Riwawo. Dari perkawinan ini lahirlah We Tenri Sui. We Tenri Sui pernah juga kawin dengan To Lempe Arung Patojo saudara kandung Datu Soppeng yang mula-mula memeluk Islam yang bernama BeowE. Dari perkawinannya lahirlah We Bubungeng yang berarti bersaudara kandung dengan We Tenri Sui.

We Tenri Sui kawin dengan La Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle, anak dari We Cammare Datu Lompengeng MattendumpulawengE dari suaminya yang bernama To Wawo. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Tatta To Unru Datu Mario Riwawo. Ada juga yang bernama We Tenri Abang. Selain itu, We Dairi (meninggal diwaktu kecil), We Tenri Wempeng Daunru (meninggal diwaktu kecil), La Tenri Garangi (meninggal diwaktu kecil), selanjutnya We Kacimpureng Daoppo Datu Marimari, tidak ada keturunannya.

We Bubungeng I Dasajo Arung Pattojo diangkat menjadi datu di Watu, kawin dengan La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Senge’ To Wesang dan We Yada MatinroE ri Madello.

Arung Tanatengnga kemudian kawin lagi dengan We Tenri Pada Datu Watu anak dari We Puampe dengan suaminya La Page Datu Mario Riwawo.

Adapun La Tenri Tatta To Unru diwariskan oleh ibunya untuk menjadi datu ri Mario Riwawo, sehingga digelar sebagai Datu Mario Riwawo. La Tenri Tatta kawin dengan sepupunya yang bernama We Dadda atau We Yadda anak dari We Bubungeng I Dasajo dari suaminya MatinroE ri Datunna. Dari perkawinannya ini tidak melahirkan seorang anak, akhirnya bercerai.

Isteri La Tenri Tatta yang paling dicintainya adalah I Mangkawani Daeng Talele, tetapi juga tidak ada keturunannya. Oleh karena itu La Tenri Tatta To Unru sampai akhir hayatnya tidak memiliki keturunan.

Saudara kandung La Tenri Tatta yang bernama We Tenri Wale Da Umpu Mappolo BombangE itulah yang menjadi Maddanreng ri Palakka. Karena setelah La Tenri Tatta kembali dari Mangkasar, orang Bone menobatkannya menjadi Arung Palakka. Mappolo BombangE kawin dengan La PakokoE Arung Timurung yang juga Ranreng di Tuwa dan sebagai Arung di Ugi. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anak laki-laki La Patau Matanna Tikka WalinonoE To Tenri Bali MalaE Sanrang MatinroE ri Nagauleng.

Sedangkan saudara kandung La Tenri Tatta yang lain yang bernama We Tenri Abang Da Eba, itulah yang mengikutinya sewaktu La Tenri Tatta To Unru pergi ke Jakarta. Oleh karena itu, La Tenri Tatta menyerahkan kepada adiknya itu untuk menjadi Datu ri Mario Riwawo. We Tenri Abang kawin dengan La Sule atau La Mappajanci Daeng Mattajang Karaeng Tanete, turunan Karaeng Tallo. Dari perkawinannya itu lahir dua orang anak perempuan yang bernama We Pattekke Tana Daeng Tanisanga dan We Tenri Lekke’.

We Pattekke Tana kawin dengan PajungE ri Luwu MatinroE ri Langkanana yang bernama La Onro To Palaguna. Dari perkawinannya itu lahirlah We Batara Tungke dan We Fatimah MatinroE ri Pattiro. We Fatimah MatinroE ri Pattiro kawin dengan sepupunya yang bernama La Rumpang Megga To Sappaile. Dari perkawinan itu lahirlah We Tenri Leleang Datu Luwu dan La Oddang Riwu Daeng Mattinring atau La Tenri Oddang. Inilah yang menjadi Arung Pattiro dan Datu Tanete. Selanjutnya melahirkan La Tenri Angke’ Datu Marimari.

Adapun anak Batara Tungke yang bernama We Tenri Lekke saudara kandung We Pattekke Tana, kawin dengan La Pasau Arung Menge yang juga sebagai Ranreng di Talotenre Wajo.

We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya To Lempe Arung Pattojo melahirkan We Bubungeng I Dasajo. We Bubungeng I Dasajo inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Bali MatinroE ri Datunna, anak dari La Maddussila Arung Mampu MammesampatuE. Dari perkawinan itu lahirlah La Tenri Senge’ To Wesang dan We Yadda MatinroE ri Madello.

La Tenri Senge’ To Wesang kawin dengan We Pada Daeng Masennang di Pammana, anak dari La Tenri Sessu To TimoE. Dari perkawinannya lahirlah La Makkateru (meninggal dunia sewaktu kecil). Selanjutnya lahir pula La Karidu yang kemudian menjadi Arung Sekkaili. La Karidu kawin di Pammana dengan anak WatampanuwaE ri Pammana. Dari perkawinan itu lahirlah La Mappassili Arung yang kemudian menjadi Arung Pattojo. La Mappassili kawin di Tanete dengan Arung Lalolang yang kemudian melahirkan anak laki-laki yang bernama La Barahima.

Selanjutnya La Mappassili kawin lagi dengan We Tenri Leleang PajungE ri Luwu MatinroE ri Soreang, anak We Fatimah Batara Tungke MatinroE ri Pattiro denganh suaminya La Rumpang Megga To Sappaile MatinroE ri Suppa. Inilah yang melahirkan La Mappajanci Daeng Massuro PollipuE ri Soppeng MatinroE ri Laburaung.

Anak berikutnya adalah We Tenri Abang Datu Watu Arung Pattojo dan berikutnya bernama Janggo’ Panincong. Inilah yang tewas dipenggal kepalanya oleh kemanakannya sendiri yang bernama Baso Tancung pada Perang Batubatu. Dalam peristiwa itu, La Mappassili tewas terbunuh oleh iparnya sendiri yang bernama La Oddang Riwu Daeng Mattinring Karaeng Tanete.

Kembali kita bicarakan La Pottobune’ dengan isterinya We Tenri Pasa Datu Watu. Melahirkan anak yang bernama La Page yang kemudian diwariskan untuk menjadi Datu di Lompulle. La Page bersaudara dengan La Tenri Tatta Daeng Serang To Unru dari ayahnya. La Page Datu Lompulle kawin dengan We Buka Datu Botto. Dari perkawinan itu lahirlah La Malleleang To Panamangi Datu Lompulle dan juga Datu Mario Riwawo. Selanjutnya La Panamangi kawin dengan We Mekko Datu Bakke, lahirlah We Tenri Datu Botto.

We Tenri Datu Botto kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Temmu Page anak We Pattekke Tana Daeng Tanisanga dengan suaminya yang terakhir yang bernama To Baicceng. We Tenri dengan La Temmu Page melahirkan anak laki-laki yang bernama La Mallarangeng To Samallangi, inilah yang kemudian menjadi Datu Lompulle dan Datu Mario Riwawo. La Mallarangeng To Samallangi kawin dengan We Tenri Leleang janda dari La Mappassili. Dari perkawinannya itu lahirlah La Maddussila Karaeng Tanete. La maddussila inilah yang kawin dengan We Seno Datu Citta, anak dari La Temmassonge MatinroE ri Malimongeng dengan isterinya yang bernama Sitti Habiba.

Selanjutnya We Tenri Leleang janda dari La Mappassili yang kawin dengan La Mallarangeng To Samallangi melahirkan We Panangareng Daeng Risanga Arung Cinennong Datu Mario Riwawo MatinroE ri Ujungtana. We Panangareng Daeng Risanga kawin dengan La Sunra Datu Lamuru MatinroE ri Lamangile, anak dari La Tenri Sanga Petta Janggo’E Datu Lamuru.

Kemudian We Tenri Leleang dengan La Mallarangeng To Samallangi melahirkan La Tenri Sessu Arung Pancana, inilah yang kawin dengan We Paddi Petta Punna BolaE anak dari Maddanreng Bone yang bernama La Sibengngareng. Selanjutnya La Tenri Sessu kawin lagi dengan We Tenri Lawa Besse Peyampo di Wajo, saudara kandung dari Arung Belle La Sengngeng MatinroE ri Salawa’na.

We Tenri Leleang dengan La Mallarangeng melahirkan lagi We Pada Daeng Malele, Fatimah Ratu Daeng Tacowa MatinroE ri Sigeri, La Maggalatung To Kali Datu Lompulle yang juga sebagai Datu Botto dan Batari Toja We Akka Daeng Matana Opu Datu ri Bakke. Inilah yang kawin dengan PajungE ri Luwu yang bernama La Pattiware MatinroE ri Sabbamparu.


Nextpage --> La Tenri Pale To Akkeppeang (1611 – 1625)

La Tenri Pale To Akkeppeang (1611 – 1625)

Ketika La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng diusir oleh orang Bone, maka yang menggantikannya adalah sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung. Dia adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna.

Inilah Mangkau’ di Bone yang membangkitkan kembali semangat orang Bone untuk menolak masuknya agama Islam di Bone. Oleh karena itu KaraengE kembali memerangi Bone, sehingga orang Bone kalah dan menyerah. Diundanglah seluruh Palili (daerah bawahan) untuk disuruh mengucapkan syahadat sebagai tanda bahwa seluruh orang Bone telah menerima agama Islam. Setelah itu KaraengE ri Gowa kembali ke kampungnya.

La Tenri Pale To Akkeppeang dua bersaudara yaitu We Tenri Jello MakkalaruE, kawin dengan Arung Sumaling yang bernama La Pancai To Patakka. Dia juga digelar Lampe Pabbekkeng, anak dari La Mallalengeng To Alaungeng Arung Sumaling, dari isterinya yang bernama We Tenri Parola. Lahirlah La Maddaremmeng, diangkatlah MakkalaruE menjadi Arung Pattiro.

Satu lagi adik La Maddaremmeng bernama We Tenri Ampareng, dia menjadi Arung Cellu. Sedangkan La Tenri Aji To Senrima dia menjadi Arung di Awampone dan digelar MatinroE ri Siang.

We Tenri Sui kawin dengan La Pottobune’ TobaE Arung Tanatengnga, lahirlah La Tenri Tatta To Unru, tidak ada keturunannya. Anaknya yang kedua yaitu I Daunru. Inilah yang kawin dengan Datu Citta yang bernama Todani yang menjadi Arung EppaE Ajattappareng yaitu ; Addatuang Sidenreng, Datu Suppa, Addattuang Sawitto dan Arung Alitta. Bahkan dia juga Karaeng di Galingkang.

Ketika Todani memperisterikan saudara La Tenri Tatta, dia mempersatukan Citta dengan Bone. Nanti setelah La Temmassonge’ To Appaweling MatinroE ri Malimongeng menjadi Mangkau’ di Bone, barulah Citta dikembalikan ke Soppeng. Namun akhirnya Todani disuruh bunuh oleh La Tenri Tatta To Unru karena dianggap menyalahi kasiwiang (persembahan) di Bone.

Sedangkan Saudara La Tenri Tatta To Unru yang bernama We Tenri Abang Daeba, dialah yang dinamakan We Tenri Wale MatinroE ri Bola Sadana. Digelar juga Mappolo BombangE dialah Maddanreng di Palakka.

Satu tahun setelah orang Bone menerima Islam, pergilah Arumpone ke Mangkasar menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Arab yaitu Sultan Abdullah. Itulah nama Arumpone yang dibaca pada khutbah Jumat.

Ketika menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Pale dikenal sangat ramah dan merakyat. Dia sangat memperhatikan masalah pertanian. Arumpone inilah yang kawin dengan anak MatinroE ri Sidenreng dari suaminya yang bernama To Addussila bernama We Palettei KanuwangE Massao BessiE ri Mampu Riawa. Dari perkawinan ini lahirlah anak perempuan yang bernama We Daba.

Selama menjadi Arumpone, La Tenri Pale selalu bolak balik ke Gowa untuk menemui KaraengE ri Gowa. Ia meninggal di Tallo sehingga digelar La Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo.


Nextpage --> La Maddaremmeng (1625 – 1640)

La Maddaremmeng (1625 – 1640)

La Maddaremmeng menggantikan pamannya La Tenri Pale To Akkeppeang MatinroE ri Tallo menjadi Arumpone. Ketika akan diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, La Tenri Pale dengan orang Bone berjanji bahwa ;

La Tenri Pale ;

Siapa yang mengingkari janji, dialah yang menanggung resiko buruknya

Orang Bone ;

Siapa yang berbuat kebaikan, dialah yang menerima imbalan kebaikan itu

Setelah saling mengiyakan kesepakatan itu, maka diangkatlah La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung menjadi Mangkau’ di Bone. Setelah beberapa waktu menjadi Arumpone, diadakanlah penggalian bendungan di sebelah selatan Leppangeng. Selama tiga tahun digali, ternyata airnya tak bakal naik. Dibawa lagi ke Sampano untuk membuat tiang rumah, tiba-tiba La Tenri Pale kena penyakit. Kembalilah La Tenri Pale ke Bone.

Sesampainya di Bone, diundanglah seluruh orang Mampu dan menyampaikan bahwa ;

Berangkatlah ke Sidenreng untuk memanggil keluargaku untuk datang memiliki kembali miliknya.

Kemudian La Tenri Pale berangkat ke Su (Mangkasar). Di Mangkasar (Tallo) ia meninggal dunia sehingga dinamakan MatinroE ri Tallo.

Ketika orang yang disuruh ke Sidenreng kembali, La Tenri Pale sudah tidak ada di Bone. Maka diangkatlah La Maddaremmeng sebagai Arumpone, sebab dialah yang dipesan oleh pamannya untuk menggantikannya bila sampai ajalnya. Arumpone inilah yang pertama membuat payung putih untuk dipakai bila bepergian.

La Maddaremmeng kawin di Wajo dengan perempuan yang bernama Hadijah I Dasenrima anak dari Arung Matowa Wajo yang bernama La Pakallongi To Ali dengan isterinya We Jai Ranreng Towa Wajo yang juga sebagai Arung Ugi. Dari perkawinan La Maddaremmeng dengan We Jai, melahirkan seorang anak laki-laki bernama La PakokoE Toangkone yang digelar TadampaliE. La PakokoE Toangkone kemudian diangkat menjadi Arung Timurung.

La PakokoE Toangkone kawin dengan saudara perempuan La Tenri Tatta To Unru yang bernama We Tenri Wale Mappolo BombangE Maddanreng Palakka. Anak dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan suaminya yang bernama La Pottobune Arung Tanatengnga. Dari perkawinannya itu lahirlah La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng.

Selanjutnya La Maddaremmeng kawin lagi dengan Arung Manajeng. Dari perkawinannya yang kedua itu lahirlah anak laki-laki yang bernama Toancalo Arung Jaling. Inilah yang kawin dengan We Bunga Bau Arung Macege, anak dari Karaeng Massepe dengan isterinya yang bernama We Impu Arung Maccero. Toancalo Arung Jaling dengan We Bunga Bau Arung Macege yang melahirkan Tobala Arung Tanete Riawang yang digelar Petta PakkanynyarangE.

Setelah menjadi Mangkau’ di Bone selama kurang lebih 15 tahun, Gowa kembali melakukan serangan terhadap Bone yang akhirnya menaklukkannya. La Maddaremmeng meninggal dunia di Bukaka, sehingga dia dinamakan MatinroE ri Bukaka.

Isteri La Maddaremmeng yang lain bernama We Mappanyiwi Arung Mare, anak We Cakka Datu Ulaweng. Melahirkan seorang anak perempuan yang bernama We Daompo. Inilah yang kawin dengan La Uncu Arung Paijo. La Uncu Arung Paijo dengan We Daompo melahirkan La Tenri Lejja RiwettaE ri Pangkajenne. Inilah yang melahirkan To Sibengngareng Maddanreng Bone.


Nextpage --> La Tenri Aji To Senrima (1640 – 1643)

La Tenri Aji To Senrima (1640 – 1643)

L=a Tenri Aji To Senrima menggantikan saudaranya La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka menjadi Mangkau’ di Bone. Dialah yang melanjutkan perlawanan Bone terhadap Gowa, namun kenyataannya Bone kembali mengalami kekalahan. Karena pada perang ini, Gowa ternyata dibantu oleh Luwu dan Wajo. Pertahanan terakhir Arumpone La Tenri Aji To Senrima adalah Pasempe, sehingga dikatakan Beta Pasempe (Kekalahan di Pasempe).

Sejak kekalahan di Pasempe, Bone menjadi milik Gowa, Luwu dan Wajo. Wilayahnya dibagi tiga, sebahagian diambil oleh Gowa, sebahagian diambil Luwu dan sebahagian diambil oleh Wajo. Ditawanlah semua anak bangsawan Bone, termasuk La Pottobune’ bersama isteri dan anak-anaknya. Selebihnya diberikan kepada Luwu dan Wajo. Adapun yang menjadi milik Wajo tetap berada di Bone, sebab Wajo masih ingat perjanjian yang telah disepakati oleh Arung terdahulu, yaitu ”Yang rebah akan ditopang, yang hanyut akan diraih” sebagaimana isi LamumpatuE ri Timurung yang telah dilakukan oleh TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo).

Arung Matowa Wajo yang bernama La Makkaraka mengatakan ;

”Bahagian Wajo yang pergi ke Gowa, adalah milik Gowa, bahagian Luwu yang pergi ke Wajo, tetap milik Luwu. Kemudian bahagian Wajo yang masih tinggal di Bone, tetap milik Bone. Kecuali dia sendiri yang datang ke Wajo, barulah milik Wajo”.

Permintaan ini akhirnya disetujui oleh KaraengE ri Gowa dan Datu Luwu.

Ketika La Tenri Aji To Senrima ditangkap dan dibawa ke Gowa, diikutkanlah semua anak bangsawan Bone lainnya. Setelah itu Bone dibakar oleh orang Gowa, menjadilah Bone sebagai wilayah jajahan Gowa dan seluruh rakyatnya dijadikan hamba. Sementara La Tenri Aji To Senrima di tempatkan di Siang, sedangkan anak bangsawan lainnya dibagi-bagi kepada anggota Hadat Gowa (Bate SalapangE) untuk dijadikan hamba dan sebagainya.

Diantara anak bangsawan yang ditawan oleh Gowa, terdapat juga La Pottobune’ Arung Tanatengnga bersama isteri dan anak-anaknya. Sebab yang tidak tertawan oleh Gowa hanyalah anak kecil, orang tua lanjut umur, kecuali atas permintaan orang tuanya.

La Pottobune’ Arung Tanatengnga, isteri dan anak-anaknya tinggal di rumah KaraengE. Ketika itu La Tenri Tatta baru berusia 11 tahun. Karena dia seorang anak yang cerdas, sehingga banyak yang menyukainya. Oleh karena itu, semua anggota Bate SalapangE pernah ditempatinya.

Karena La Tenri Aji To Senrima diasingkan ke Siang, maka KaraengE ri Gowa menyuruh kepada orang Bone untuk mencari Arung (Mangkau’). Tetapi orang Bone tidak berani lagi menunjuk seorang Mangkau’, sehingga orang Bone menyerahkan sepenuhnya kepada KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa menunjuk Karaeng Summana untuk melaksanakan pemerintahan di Bone.

Tetapi karena Karaeng Summana tidak bisa menghadapi orang Bone yang kelihatannya tetap berusaha menghalang-halangi segala langkahnya, maka kembalilah Karaeng Summana ke Gowa. Kepada KaraengE ri Gowa, Karaeng Summana melaporkan ketidak mampuannya menghadapi orang Bone. Oleh karena itu terjadilah kevakuman pemerintahan di Bone saat itu.

La Tenri Aji To Senrima meninggal dunia di Siang, sehingga dinamakan MatinroE ri Siang. Menurut catatan lontara’ dia hanya mempunyai seorang anak yang bernama La Pabbele MatinroE ri Batubatu. Inilah yang melahirkan Daeng Manessa Arung Kading.

Selama beberapa waktu tidak ada pengganti La Tenri Aji To Senrima MatinroE ri Siang sebagai Arumpone. Orang Bone dan segenap anggota Hadatpun sudah tidak mau menunjuk seorang Mangkau’. Sementara KaraengE ri Gowa juga ragu untuk mengangkat seorang Arung kalau bukan yang diinginkan oleh orang Bone.

Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa hanya menunjuk seorang jennang (pelaksana) yang memiliki wewenang sebagai pengganti Mangkau’ di Bone.


Nextpage --> Tobala (1643 – 1660)

Tobala (1643 – 1660)

Tobala Arung Tanete ditunjuk oleh KaraengE ri Gowa sebagai pengganti Mangkau di Bone yang disebut jennang. Selama 17 tahun Tobala menjadi Jennang di Bone, sekian pula lamanya Bone dijajah oleh Gowa. Ketika Tobala yang juga dikenal dengan gelar Petta PakkanynyarangE menjadi Jennang di Bone, tindakan kesewenang-wenangan orang Gowa terhadap orang Bone semakin menjadi-jadi. Banyak orang Bone yang memilih untuk pindah ke daerah lain, karena tidak mampu lagi menahan penderitaan akibat tindakan orang Gowa yang sangat kejam.

Dimasa pemerintahan Tobala, KaraengE ri Gowa minta dikirimkan orang dari Bone sebanyak 10.000. Jumlah itu tidak bisa kurang dan harus sesuai dengan yang diminta. Orang sebanyak itu akan disuruh menggali parit dan membuat benteng. Kepada siapa yang telah ditentukan untuk berangkat ke Gowa tidak bisa diganti, walaupun ada hambanya yang bisa menggantikannya. Tidak bisa juga membayar sebagai tebusan agar bisa tidak berangkat.

Saat itu La Tenri Tatta sudah mulai dewasa dan kawinlah dengan I Mangkawani Daeng Talele. Pada saat orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu tiba, La Tenri Tatta bersama seluruh keluarganya meninggalkan rumah KaraengE ri Gowa. Ia pun turun bekerja bersama orang Bone, merasakan bagaimana penderitaan dan penyiksaan yang dialami mereka. La Tenri Tatta To Unru menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana orang Gowa menyiksa orang Bone jika didapati tidak bekerja atau malas karena kelaparan. Orang Bone diperlakukan tak ubahnya hewan, dicambuk dan ditendang. Bahkan tidak sedikit yang mati terbunuh oleh orang Gowa yang mengawasi penggalian parit dan pembuatan benteng tersebut.

Melihat tindakan orang Gowa terhadap orang Bone yang semakin tidak berperikemanusiaan, hati La Tenri Tatta menjadi tergugah dan berpikir untuk membuat suatu rencana pembebasan. Dengan bekerja sama dengan beberapa keluarga dekatnya, seperti Arung Belo, Arung Ampana dan lain-lain. Kesepakatan yang dibuatnya adalah pada suatu saat yang tepat dan aman, semua orang Bone melarikan diri dari tempat penggalian parit dan pembuatan benteng tersebut menuju ke Bone.

Sementara Tobala tidak mampu lagi untuk menerima tindakan orang Gowa terhadap orang Bone yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Hal ini menambah kesungguhan La Tenri Tatta untuk menegakkan kembali kebesaran Bone. Dihimpunlah seluruh kekuatan Bone yang pernah bercerai berai, dia juga mengajak Soppeng agar dapat membantu Bone melawan Gowa.

Setelah cukup 17 tahun Tobala menjadi Jennang di Bone, ia membangkitkan kembali semangat orang Bone untuk melawan Gowa. Sementara La Tenri Tatta bersama segenap keluarga, jowa dan segenap orang Bone yang menjadi penggali parit telah berada dalam perjalanan menuju ke Bone. Hal ini tidak diketahui oleh KaraengE ri Gowa bersama seluruh anggota Hadatnya.

Setelah sampai di Bone, ia langsung menemui Tobala Jennang Bone. Selain itu ia juga menyampaikan kepada Datu Soppeng pamannya yang bernama La Tenri Bali. Memang telah dipersatukan Bone dengan Soppeng sesuai bunyi Pincara LopiE ri Attapang (Perjanjian ri Attapang). Bersatulah kembali Tobala dengan La Tenri Tatta membangkitkan kembali semangat perlawanan orang Bone terhadap Gowa.

Sebagai wujud kegembiraan orang Bone atas kembalinya La Tenri Tatta ke Bone, maka orang Bone sepakat untuk mengangkatnya menjadi arung di Palakka mewarisi neneknya. Sejak itu dinamakanlah Arung Palakka.

Setelah mempersatukan pendapat dengan Jennang Tobala untuk tidak mundur dalam melawan Gowa, pergilah Arung Palakka ke Lamuru untuk menghadang orang Gowa yang mengikutinya. Terjadilah perang yang sangat dahsyat dan menelan korban yang tidak sedikit dari kedua belah pihak. Karena kekuatan Gowa ternyata lebih kuat, maka ia pun mengundurkan diri bersama pengawalnya.

Dalam perjalanannya menghindari serangan Gowa, La Tenri Tatta Arung Palakka singgah menemui Datu Soppeng minta bekal untuk dimakan dalam perjalanan bersama pengawalnya. Karena dia akan pergi mencari teman yang bisa diajak kerja sama melawan Gowa. Hal ini dimaksudkan agar dapat menegakkan kembali kebesaran Bone.

Atas permintaannya itu, Datu Soppeng memberinya emas pusaka dari orang tuanya. Emas itulah yang dijadikan bekal bersama segenap pengawalnya pergi mencari teman yang bisa diajak kerja sama menegakkan kembali kebesaran Bone. La Tenri Tatta Arung Palakka sebelum berangkat berjanji tidak akan memotong rambutnya sebelum ia kembali ke Bone.

Berangkatlah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama segenap pengawalnya, sementara orang Gowa tetap mengikuti jejaknya. Orang Bone pun kembali melawan di bawah pimpinan Tobala yang dibantu oleh orang Soppeng. Akan tetapi karena kekuatan Gowa masih lebih kuat, sehingga orang Bone kembali mengalami kekalahan. Bahkan Tobala tewas dalam peperangan dan Datu Soppeng tertawan.

Karena kekalahan itu, sehingga orang Bone kembali ditawan dan dijajah oleh Gowa. Begitu pula orang Soppeng karena telah membantu Bone dalam melawan Gowa. Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka tetap diburu oleh orang Gowa dan tidak sedikit mengalami kepungan yang hampir saja menjebak dirinya. Seakan-akan tidak ada lagi tempat yang dapat digunakan untuk berlindung di Bone.

Oleh karena itu, ia memutuskan untuk menyeberang ke Tanah Uliyo (Butung) untuk minta perlindungan. Hal ini dilakukan agar dapat menemukan teman yang dapat membantunya untuk melawan dan menundukkan Gowa. Disiapkanlah perahu untuk menyeberang ke Butung.

Sesampainya di Butung, naiklah La Tenri Tatta menemui Raja Butung. Raja Butung menerimanya dan bersedia membantunya. Tetapi ternyata Gowa tidak akan berhenti untuk mengikuti jejaknya. Setelah KaraengE ri Gowa mengetahui bahwa La Tenri Tatta bersama sejumlah pengawalnya telah menyeberang ke Butung, ia segera memerintahkan Arung Gattareng untuk menyusulnya.

Akan tetapi Arung Gattareng tidak sampai di Tanah Uliyo dan dia kembali tanpa membawa hasil. KaraengE ri Gowa lantas mengirim pasukan tempur untuk mengikuti sampai di Butung. Sesampainya di Butung pasukan Gowa tersebut mencari ke berbagai tempat, namun tidak berhasil menemukan La Tenri Tatta dengan seluruh pengawalnya. Raja Butung berusaha meyakinkan orang Gowa bahwa La Tenri Tatta tidak ada di atas Tanah Butung. Oleh karena itu, orang Gowa kembali tanpa menemukan La Tenri Tatta dan pengawalnya.

Setelah orang Gowa kembali ke kampungnya, Raja Butung berkata kepada La Tenri Tatta ; ”Saya sangat khawatir kalau pada akhirnya engkau dan seluruh pengawalmu ditemukan oleh orang Gowa di Tanah Butung ini. Saya sarankan agar engkau menunggu Kompeni Belanda karena tidak lama lagi dia akan datang. Dia akan berangkat ke Ternate karena Raja Ternate berselisih dengan saudaranya. Sekarang saudara Raja Ternate itu ada di Gowa untuk minta bantuan kepada KaraengE ri Gowa. Karena itu, KaraengE ri Gowa bermaksud berangkat ke Ternate, orang Bone diseberangkan ke Butung oleh La Sekati.

Tindakan kesewenang-wenangan KaraengE ri Gowa bukan saja ditujukan kepada orang Bone, tetapi juga kepada orang-orang Gowa yang menentang perintahnya. Dengan demikian orang Gowa pun banyak yang menyeberang ke Butung termasuk Karaeng Bonto Marannu dengan rakyatnya.

Keadan ini membuat KaraengE ri Gowa marah besar terhadap Raja Butung. Lalu KaraengE ri Gowa membuat rencana untuk menyerang Butung di Tanah Uliyo. Karena disitulah berlindung semua orang yang dicari oleh KaraengE ri Gowa. Disitu pula kapal-kapal Kompeni Belanda selalu singgah apabila hendak menuju ke Ternate. KaraengE ri Gowa memanggil Datu Luwu yang bernama La Setiaraja untuk bersama- Tidak berapa lama, Kompeni Belanda datang dengan segala alat perangnya menuju ke Ternate. Sebelumnya singgah di Tanah Uliyo. Turunlah La Tenri Tatta diantar oleh Raja Butung menemui Komandan Belanda di atas kapalnya. La Tenri Tatta minta kepada Kompeni agar dapat diikutkan ke Ternate bersama seluruh pengawalnya.

Atas permintaannya itu Kompeni mengatakan ;

Tidak usah ke Ternate, tetapi lebih baik ke Jakarta. Nanti di Jakarta baru diberikan tanah untuk di tempati bersama pengawalnya. Kalau sudah ada kesempatan, kita sama-sama melawan Gowa. Jadi tunggulah disini. Kalau Kompeni kembali dari Ternate barulah singgah disini dan kita sama-sama ke Jakarta

Oleh karena itu, La Tenri Tatta Arung Palakka dan seluruh pengawalnya tinggal beberapa waktu di Butung menunggu kembalinya Kompeni Belanda.


Tobala kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Maisuri anak dari We Daompo dengan suaminya yang bernama La Uncu Arung Paijo. Inilah yang melahirkan To Sibengngareng Maddanreng Bone. Kemudian To Sibengngareng kawin dengan anaknya Opu Bontobangung di Selayar yang melahirkan anak perempuan tiga orang. Yang pertama bernama We Kelli Arung Paijo, yang kedua bernama We Sadia Petta Punna BolaE dan ketiga We Panido Arung Atakka.

Sedangkan anak laki-laki Tobala dari isterinya We Maisuri, La Tenri To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE. Kemudian La Tone To Marilaleng Pawelaiye ri Pattingaloang. Inilah yang kawin dengan We Tungke Arung Tessiada. Dari perkawinan itu lahirlah We Sutra Daeng Tasabbe Arung Tessiada. Kemudian We Sutra Daeng Tasabbe kawin dengan La Rubba Arung Jaling anak dari La Tenri To Marilaleng Pawelaiye ri Kaluku BodoE dari isterinya We Sellima Arung Ulo. Dari perkawinan ini lahirlah yang bernama La Mappa Arung Jaling, La Maddukkelleng Arung Tessiada, To Akkeppeang Sulewatang Palakka.

La Mappa Arung Jaling kawin dengan We Saria Arung Palongki dan melahirkan La Supu Arung Palongki. Selanjutnya La Supu kawin dengan We Sutra Daeng Tasabbe, lahirlah La Esa Arung Palongki.


Kembali kepada La Tenri Tatta bersama pengawalnya yang sementara berada di Butung. Setelah kapal Kompeni Belanda kembali dari Ternate untuk selanjutnya ke Jakarta, singgahlah di Butung mengambil La Tenri Tatta bersama seluruh pengawalnya. Setibanya di Jakarta ditunjukkanlah tanah yang luas untuk ditempati. Kampung itu kemudian bernama Kampung To PattojoE, disitulah La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na membina dan melatih pengawalnya sebagai persiapan untuk kembali ke Tana Ugi melawan KaraengE ri Gowa.


Nextpage --> La Sekati Arung Amali (1660 – 1667)

La Sekati Arung Amali (1660 – 1667)

Setelah Tobala meninggal dunia, KaraengE ri Gowa menunjuk lagi La Sekati Arung Amali menjadi Jennang di Bone. Selama tujuh tahun La Sekati Arung Amali menjadi Jennang di Bone, selama itu pula tindakan kesewenang-wenangan orang Gowa terhadap orang Bone semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu sebahagian besar sama Karaeng Bonto Marannu menyerang Butung. Dengan pasukan yang lengkap dan siap berperang, berangkatlah ke Butung untuk menghajarnya.


Sementara itu, La Tenri Tatta Arung Palakka bersama seluruh pengikutnya dan pasukan Kompeni Belanda telah berada dalam perjalanan menuju ke Tanah Ugi. Dia akan langsung ke Butung untuk mengambil seluruh orang Bone dan orang Soppeng yang mengungsi kesana akibat tindakan orang Gowa. Begitu pula orang-orang Gowa yang lari kesana. Hal ini terjadi dalam tahun 1667 M.

Atas kedatangan Arung Palakka Malampe’E Gemme’na, merupakan akhir penderitaan orang Bone dari penjajahan Gowa. Sebelum Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu memulai serangannya terhadap Butung, datanglah kapal Kompeni Belanda yang ditumpangi La Tenri Tatta Arung Palakka bersama dengan pasukan Belanda. Dengan demikian rencana Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu untuk menyerang Butung terpaksa batal.

Admiral Speelman selaku pimpinan pasukan Belanda bersama La Tenri Tatta Arung Palakka mengutus beberapa orang untuk menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu. Kepada utusan itu disuruh untuk menyampaikan kepada Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu bahwa janganlah Raja Butung yang diserang, karena dia tidak bersalah. Tetapi kalau KaraengE ri Gowa benar-benar mau berperang, maka sekarang lawannya sudah ada. Atau alangkah baiknya kalau Datu Luwu bersama Karaeng Bonto Marannu turun ke kapal sekarang juga dengan mengibarkan bendera putih untuk kita bicara secara baik-baik.

Mendengar penyampaian Admiral Speelman dan La Tenri Tatta Arung Palakka Malampe’E Gemme’na, Datu Luwu minta pertimbangan kepada Karaeng Bonto Marannu. Setelah mempertimbangkan baik dan buruknya ajakan Admiral Speelman dan Arung Palakka, maka keduanya sepakat untuk turun ke kapal dengan mengibarkan bendera putih untuk menemuinya.

Kepada Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu La Tenri Tatta Arung Palakka berkata ;

”Saya tidak tahu perselisihan Luwu dengan Bone, saya juga tidak tahu apa perselisihan saya dengan Karaeng Bonto Marannu. Maka menurut pikiran saya, alangkah baiknya kalau Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu, bersama seluruh pasukannya kembali ke negerinya”.

Setelah itu, dibawalah Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu bersama seluruh pasukannya ikut di kapal. Karena pada saat itu La Tenri Tatta Arung Palakka juga sudah akan menginjakkan kakinya di Tanah Ugi.

Diikutkanlah semua orang Bone , orang Soppeng dan orang Gowa yang ada di Butung. Adapun alat-alat perang orang Gowa dan pasukan Datu Luwu diserahkan kepada orang Bone.

Ketika KaraengE ri Gowa mengetahui bahwa Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu diikutkan di kapal Kompeni Belanda dan seluruh persenjataannya diserahkan kepada orang Bone, maka iapun berpikir bahwa kesepakatan antara Luwu dengan Gowa telah pecah. Oleh karena itu seluruh tawanannya dikembalikan ke negerinya, termasuk Arumpone dan Datu Soppeng La Tenri Bali.

Tanggal 21 November 1667 M. berperang habis-habisanlah La Tenri Tatta melawan Gowa. Bersama dengan Speelman menggempur KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin. Menyerahlah orang Gowa dan KaraengE ri Gowa pun tidak dapat berbuat banyak. La Tenri Tatta Arung Palakka berhasil menegakkan kembali kebesaran Bone, membebaskan orang Bone dari tindakan kesewenang-wenangan Gowa. Tercabutlah taring Gowa yang selama ratusan tahun menjadi kebanggaannya.

Ketika La Tenri Tatta Arung Palakka kembali ke Bone, ia lalu menemui Arumpone pamannya sendiri yang bernama La Maddaremmeng. Pamannya berkata ;

Saya ini sudah sangat lemah, sehingga alangkah baiknya engkau memegang – akkarungeng (kerajaan) Bone. Karena memang warisanmulah dari MatinroE ri Bantaeng. Karena engkaulah sehingga Bone ini bangkit kembali, makanya tidak wajar untuk saya wariskan kepada anak cucuku yang lain, kecuali kepadamu

Arung Palakka menjawab ;

Saya sangat menghargai kemuliaanmu, Puang. Saya juga menjunjung tinggi maksud baikmu itu, Puang. Tetapi menurutku nantilah api itu padam, baru kita ganti, nantilah tiang itu patah baru kita mencari yang lain

Oleh karena itu La Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai akhir hayatnya. Akan tetapi pelaksanaan pemerintahan tetap dilakukan oleh La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na. Begitu juga arung-arung yang bekerja sama dengan Kompeni Belanda tidak bisa langsung bertemu dengan Gubernur Belanda tanpa meminta izin kepada Arung Palakka.

Gubernur Belanda telah memberikan kewenangan kepada Arung Palakka untuk membawahi seluruh arung-arung dan seluruh negeri-negeri yang ada dalam pengawasan Kompeni Belanda di Celebes Selatan. Oleh Gubernur Belanda telah menunjukkan negeri-negeri yang dikuasakan , seperti ; Balannipa, Sinjai sampai di Bantaeng. Sejak itulah La Tenri Tatta Arung Palakka digelar Petta To RisompaE.

Kekalahan Gowa dalam perang melawan Belanda dan Bone ditandai dengan suatu perjanjian yang disebut Perjanjian Bungaya. Perjanjian yang mengakhiri kekuasaan Gowa di Celebes Selatan ditanda tangani oleh KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin dan Laksamana Kompeni Belanda Speelman pada hari Jumat 18 November 1667 M. Bertempat di Bungaya.


Nextpage --> La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE (1667 – 1696)

La Tenri Tatta Arung Palakka (1667 – 1696)

Setelah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka meninggal dunia, maka digantikanlah oleh kemanakannya yang bernama La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE.


Nextpage --> La Tenri Pale To Akkeppeang (1611 – 1625)

La Tenri Pale To Akkeppeang (1611 – 1625)

Ketika La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng diusir oleh orang Bone, maka yang menggantikannya adalah sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung. Dia adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna.


Nextpage --> La Tenri Pale To Akkeppeang (1611 – 1625)

La Tenri Pale To Akkeppeang (1611 – 1625)

Ketika La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng diusir oleh orang Bone, maka yang menggantikannya adalah sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung. Dia adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna.


Nextpage --> La Tenri Pale To Akkeppeang (1611 – 1625)

La Tenri Pale To Akkeppeang (1611 – 1625)

Ketika La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng diusir oleh orang Bone, maka yang menggantikannya adalah sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung. Dia adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna.


Nextpage --> La Tenri Pale To Akkeppeang (1611 – 1625)

La Tenri Pale To Akkeppeang (1611 – 1625)

Ketika La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng diusir oleh orang Bone, maka yang menggantikannya adalah sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung. Dia adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna.


Nextpage --> La Tenri Pale To Akkeppeang (1611 – 1625)

La Tenri Pale To Akkeppeang (1611 – 1625)

Ketika La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng diusir oleh orang Bone, maka yang menggantikannya adalah sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung. Dia adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna.


Nextpage --> La Tenri Pale To Akkeppeang (1611 – 1625)

La Tenri Pale To Akkeppeang (1611 – 1625)

Ketika La Tenri Ruwa MatinroE ri Bantaeng diusir oleh orang Bone, maka yang menggantikannya adalah sepupu satu kalinya yang bernama La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung. Dia adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna.

Rate This Article

Terima kasih telah membaca artikel: Lontara Akkarungeng Ri Bone Oleh : Drs. Asmat Riady Lamallongeng, Salama'ki to pada salama:)

About the Author

Sejarah bukan seni bernostalgia, tapi sejarah adalah ibrah, pelajaran, yang bisa kita tarik ke masa sekarang, untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Bone Terkini

Posting Komentar

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.