![]() |
Sultan Hasanuddin |
Dalam catatan sejarah menyebutkan, setelah penyerangan oleh Gowa terhadap Bone pada tahun 1643, dan menangkap Raja Bone ke-13 La Maddaremmeng lalu diasingkan di kerajaan Gowa. Bahkan seluruh bangsawan Bugis Bone dan Soppeng termasuk La Tenritatta Arung Palakka yang baru berumur 10 tahun pada waktu itu, bersama orang tuanya, tidak luput dari penangkapan, lalu dibawa ke Gowa-Makassar untuk dijadikan pekerja paksa.
pekerja paksa
Setelah Raja Bone La Maddaremmeng ditangkap, kemudian Sultan Malikussaid Raja Gowa ke-15, mengangkat Tobala Arung Tanete sebagai Jennang atau pengawas di kerajaan Bone dibawah daulat dan tekanan Raja Gowa.
Disisi lain Tobala Arung Tanete sebagai bangsawan Bugis, yang masih berpihak kepada La Maddaremmeng, kemudian atas persetujuan hadat tujuh Bone, namun tanpa sepengetahuan raja Gowa, mengangkat La Tenriaji Tosenrima sebagai Raja Bone ke-14 ditahun yang sama yaitu pada tahun 1643. Oleh sebab itu secara sepihak, posisi Tobala Arung Tanete sebagai Jennang di kerajaan Bone untuk sementara dibekukan oleh adat tujuh Bone.
pekerja paksa
Atas pengangkatan La Tenriaji Tosenrima sebagai raja Bone membuat raja Gowa marah besar. Akibatnya, Kerajaan Bone dibawah pimpinan La Tenriaji Tosenrima digempur oleh Gowa tanpa ampun di daearah Pasempe-Cinennung. Raja Bone pun ditawan oleh Gowa lalu dibawa ke Goa dan selanjutnya di kampung Siang, Pangkajene Kepulauan hingga akhir hayatnya.
Setelah mengalahkan raja Bone La Tenriaji Tosenrima, maka kerajaan Gowa kembali menugaskan Tobala Arung Tanete sebagai Jennang atau pengawas di Kerajaan Bone.
Tobala Arung Tanete ditugaskan oleh raja Gowa sebagai Jennang di kerajaan Bone mulai 1643-1660, dan selama itu pula Kerajaan Bone dijadikan sebagai jajahan oleh Gowa.
Selanjutnya, pada tanggal 11 Oktober 1660, kerajaan Gowa beserta sekutunya Wajo, kembali menyerang Bone di Lamuru, karena Tobala yang dibantu oleh La Tenritatta membebaskan rakyat Bone dan Soppeng dari Gowa tanpa sepengetahuan Raja Gowa dan pada saat itu Tobala tewas.
Pada suatu malam, tepatnya pada Februari 1660, Sultan Hasanuddin memanggil Tobala Arung Tanette, selaku jennang atau pengawas yang dipercaya oleh Kerajaan Gowa untuk mengawasi orang Bone.
Sultan Hasanudin meminta agar Tobala Arung Tanette segera menggalang kekuatan orang Bone, untuk memperkuat pertahanan Gowa yang akan berhadapan dengan Kompeni Belanda.
Dalam pembicaraan itu, Tobala Arung Tanette menjelaskan bahwa, selaku pemimpin orang Bugis Bone, dan demi menjaga harga diri dan martabat orang Bugis Bone, Tobala berjanji dan bersiap untuk membantu Kerajaan Gowa dalam melawan Kompeni Belanda.
Dari hasil pertemuan itu, sebagai orang bugis, Tobala Arung Tanete membuktikan kata-katanya. Tak lama kemudian ia memimpin 1000 orang Bugis Bone untuk menjaga wilayah-wilayah kerajaan Gowa-Makassar, dan memantau gerak gerik pasukan Kompeni Belanda. Selain itu, Tobala Arung Tanete juga bertugas untuk melaporkan setiap usaha Kompeni Belanda membujuk orang Bugis untuk bersatu melawan Gowa-Makassar.
Sementara itu, pihak Kompeni Belanda telah mendapatkan laporan bahwa beberapa bangsawan Makassar mengeluhkan sikap keras dan tindakan Sultan Hasanuddin selaku pemimpin Gowa.
Kompeni juga memperoleh laporan bahwa akibat sikap keras Sultan Hasanuddin, bahkan pasukan bayaran Gowa-Makassar dari Banda membelot dan siap membantu Belanda.
Dengan laporan ini, Kompeni Belanda merasa cukup lega karena jalan untuk menaklukkan Gowa-Makassar sebagai bandar niaga maritim terbesar di Kepulauan Nusantara bagian timur pada masa itu.
Dimana selama ini telah menjadi penghalang bagi Kompeni Belanda dalam upaya meraih posisi penguasa tunggal atas perdagangan rempah-rempah di wilayah timur Nusantara.
Setelah mendapatkan informasi ini, pada pertengahan tahun 1660 itu juga, Kompeni Belanda mengirimkan sebuah ekspedisi untuk menguji kekuatan Makassar. Kompeni Belanda dalam ekspedisi itu berhasil merebut Pelabuhan Makassar dan Benteng Panakukang.
Setelah berhasil merebut Pelabuhan Panakukang dan Benteng Panakukang dari tangan Gowa-Makassar, Kompeni Belanda menempatkan empat kapal perang dengan senjata lengkap, dan dua sekoci untuk mengamankan pelabuhan dan Benteng Panakukang dari Penguasa Gowa-Makassar.
Selain itu, Kompeni Belanda juga telah menyiapkan persediaan makanan selama lima bulan, untuk mendukung pasukan Belanda yang bertugas mengawal dan mengamankan Benteng Panakukang.
Dengan kekalahan itu, Ternyata Sultan Hasanuddin sangat menyalahkan Karaeng Sumanna selaku pejabat Gowa-Makassar yang bertanggung jawab dalam menangani pasukan Bone di bawah pimpinan Tobala Arung Tanete untuk menjaga Benteng Panakukang.
Atas dasar itu, Sultan Hasanuddin mengganti Karaeng Sumanna, dan sebagai penggantinya menunjuk Karaeng Karunrung, penasihat sekaligus Mangkubumi Kerajaan Gowa. Kebijakan ini diambil oleh Sultan Hasanuddin dengan harapan agar kerajaan Gowa- Makassar tidak dipermalukan lagi oleh Kompeni Belanda.
Karaeng Karunrung ternyata sangat serius untuk melakukan mobilisasi orang Bone. Ia lebih galak dibanding Karaeng Summana yang lebih humanis. Karaeng Karunrung langsung memberikan perintah kepada Tobala Arung Tanette untuk membawa orang Bone ke Makassar, guna bekerja membantu pertahanan Gowa-Makassar.
Atas perintah Karaeng Karunrung itu, Tobala Arung Tanette berhasil membawa 10.000 orang Bone ke Makassar. Orang Bone yang berjumlah sekitar 10.000, tanpa memandang usia, baik tua, maupun muda, semuanya diseret paksa berjalan melintasi daerah bergelombang dan gunung-gunung tinggi menuju Makassar.
Sesampainya di Makassar, orang-orang Bone dibagi berkelompok-kelompok, dan bekerja secara bergiliran. Mereka itu diberi tugas untuk menggali parit di sepanjang garis pertahanan di sepanjang pantai pelabuhan Makassar.
Selama di Makassar, hak-hak orang Bone sebagai pekerja sering dilanggar oleh pihak Gowa-Makassar, dan penderitaan orang Bone semakin bertambah ketika mandor-mandor yang mengawasi mereka mulai bersikap kasar kepada orang Bone yang sedang bekerja.
Akibatnya, banyak orang Bone yang jatuh sakit dan melarikan diri, karena mereka sudah tidak tahan lagi dengan penderitaan mereka sebagai pekerja parit. Masalah ini ditanggapi dengan serius oleh Karaeng Karunrung. Karaeng Karunrung mengambil tindakan dengan mempekerjakan para bangsawan Bone dan Soppeng bersama-sama dengan rakyat mereka demi mencapai target yang diinginkan.
La Tenritatta Arung Palakka termasuk ke dalam para bangsawan Bonee yang diturunkan mengawasi dalam mengerjakan parit tersebut.
Pada suatu hari, La Tenritatta Arung Palakka menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri kekejaman mandor-mandor Gowa, atas orang Bone yang sedang bekerja. Bahkan Mandor itu menangkap dan memukuli orang Bone itu di depan La Tenritatta Arung Palakka.
Oleh sebab itu, Arung Palakka merasa tidak tahan melihat derita yang dialami oleh orang Bone ketika sedang bekerja. Lalu ia berusaha memengaruhi dan meyakinkan Tobala Arung Tanette beserta bangsawan Bone lainnya, untuk melarikan diri dari pekerjaan itu.
Arung Palakka berhasil memengaruhi dan meyakinkan Tobala Arung Tanete. Setelah sepakat untuk melarikan diri, mereka mununggu waktu yang tepat untuk melarikan diri.
Hari yang ditunggu pun datang, yaitu hari libur pascapanen. Pada hari itu orang Gowa-Makassar sedang merayakan hari panen yang diadakan di wilayah Tallo. Para mandor dan orang Makassar pada umumnya sedang sibuk dengan keramaian yang diadakan di Tallo.
Dalam kondisi seperti inilah, orang Bone di bawah pimpinan La Tenritatta Arung Palakka bersama Tobala Arung Tanette berhasil meninggalkan Makassar dan bergerak terus menuju Bone. Mereka membutuhkan waktu selama empat hari untuk bisa sampai di Bone.
Perjalanan selama empat hari itu, mereka tempuh dengan penuh kelelahan. Setelah itu, atas persetujuan semua pihak, disusunlah rencana pemberontakan secara besar-besaran atas Kerajaan Gowa-Makassar.
Dapat dibayangkan, perlakuan yang tidak manusiawi dari pihak Gowa-Makassar atas orang Bone yang harus bekerja siang dan malam menggali parit, demi memperkuat pertahanan Kerajaan Gowa-Makassar dalam menghadapi Kompeni Belanda. Padahal waktu itu, banyak orang Gowa-Makassar yang seharusnya harus terlibat menggali parit. Namun hanya orang Bone dan Soppeng yang dipekerjakan secara paksa.
Pemberontakan orang Bone ini dipimpin langsung oleh La Tenritatta Arung Palakka bersama Tobala Arung Tanete. Sekitar 11.000 orang Bugis Bone dan Soppeng telah dipersiapkan oleh Arung Palakka dan Tobala Arung Tanete, untuk melakukan perlawanan terhadap kerajaan Gowa-Makassar.
Setelah mengetahui gerakan ini, Sultan Hasanuddin menjadi marah besar, lalu mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Karaeng Sumanna untuk menumpasnya.
Pada awalnya, Arung Palakka dan Tobala Arung Tanette berhasil membendung pasukan Gowa-Makassar di bawah pimpinan Karaeng Sumanna. Namun, setelah mendapat bantuan dari Wajo, akhirnya La Tenritatta Arung Palakka dan Tobala Arung Tanette mengalami kekalahan.
Arung Palakka dan Tobala Arung Tanette melakukan gerak mundur. Pasukan Makassar dan Wajo mengejar terus dan terjadi lagi pertempuran terbuka di daerah Bone Utara pada 11 Oktober 1660.
Dalam pertempuran ini, Tobala tewas di tangan pasukan Gowa-Makassar dan Wajo, sedangkan Arung Palakka berhasil meloloskan diri. Namun
gabungan Pasukan Gowa-Makassar dan Wajo tetap melakukan pengejaran terhadap Arung Palakka, tetapi mereka kehilangan jejak.
Merasa tidak aman bersembunyi di daerah Bone, karena selalu menjadi incaran dari pasukan musuh, Arung Palakka berusaha bisa keluar dari daerah Bone.
Pada tanggal 25 Desember 1660, Arung Palakka bersama Arung Bila, Datu Pattojo, Arung Appanang serta para pengikutnya sekitar 400 orang, berhasil sampai di Bukit Cempalagi yang berada di pantai Teluk Bone.
Di bukit Cempalagi Arung Palakka bersumpah akan terus berjuang untuk membebaskan Bonee dan Soppeng dari kekuasaan Gowa-Makassar. Setelah bersumpah, berlayarlah Arung Palakka bersama para pengikutnya menuju wilayah Buton.
Sultan Buton menerima baik kedatangan Arung Palakka beserta pengikutnya dan bersedia memberikan perlindungan kepada mereka.
Arung Palakka di kemudian hari memutuskan berangkat ke Batavia untuk membangun kerja sama dengan Kompeni Belanda dalam upaya membebaskan Bone dan Soppeng dari kekuasaan Gowa-Makassar.
Pihak Kompeni Belanda menerima baik tawaran kerja sama ini dan menempatkan pengikut Arung Palakka untuk bermukim di Muara Angke.
Tiga tahun kemudian, La Tenritatta Arung Palakka bersama Kompeni Belanda sudah siap menghadapi Gowa-Makassar dengan kepentingan yang berbeda. Belanda ingin menguasai Gowa-Makassar untuk memuluskan perdagangannya.
Sementara La Tenritatta Arung Palakka bukanlah atas dasar kebencian dan hendak menguasai kerajaan Gowa-Makassar, akan tetapi tak lain hanya untuk membebaskan orang Bone dan Soppeng dari kerja paksa.
Jadi La Tenritatta Arung Palakka memerangi Gowa-Majassar karena ingin membebaskan Bone dan Soppeng dari kekuasaan Gowa-Makassar, sedangkan Kompeni Belanda menyerang Gowa-Makassar dalam rangka ingin mengukuhkan dirinya, sebagai penguasa tunggal atas perdagangan rempah-rempah di timur Nusantara.
Sesuai rencana, pada tanggal 24 November 1666, Cornelis Speelman dan Arung Palakka berlayar menuju Makassar dari Batavia siap menyerang Makassar.
Pasukan Speelman ini didukung 21 kapal dan 1.870 orang prajurit. Dari sekian itu sebanyak 818 pelaut Belanda, 578 tentara Belanda, dan 395 pasukan pribumi. Pasukan utama pribumi berasal dari Ambon di bawah pimpinan Kapten Jongker dan dari Bugis Bone di bawah pimpinan La Tenritatta Arung Palakka.
Pada tanggal 19 Desember 1666, Speelman dan Arung Palakka sampai di pelabuhan Makassar. Sesampainya di pelabuhan Makassar, Speelman langsung memberikan ancaman kepada Sultan Hasanuddin.
Selanjutnya, pada tanggal 21 Desember 1966 Speelman mengibarkan “bendera merah sebagai tanda serangan akan segera dimulai. Bersamaan dengan itu, ditembakkan dua meriam dari kapal Kompeni Belanda ke arah Benteng Somba Opu, sebagai benteng pertahanan utama Sultan Hasanuddin.
Pasukan Gowa-Makassar membalas serangan Kompeni Belanda itu dengan menembakkan meriam pula dari benteng Somba Opu, Panakkukang, dan Ujung Pandang. Selain itu, Sultan Hasanuddin juga mengerahkan pasukan laut untuk menyerang Kompeni Belanda. Serangan laut ini membuat Speelman menjadi kewalahan karena di luar perhitungannya.
Berhubung cuaca yang kurang mendukung dan kuatnya pertahanan Sultan Hasanuddin, Speelman mengurungkan niatnya untuk menyerang terlebih dahulu.
Speelman melanjutkan pelayaran menuju timur guna memperkuat kekuatan dalam rangka meruntuhkan Gowa-Makassar. Speelman berlayar terus dan akhirnya sampai di Buton pada Januari 1667.
Namun, terjadi pertempuran antara armada Speelman dengan pasukan Makassar di bawah pimpinan Karaeng Bontomarannu. Dalam pertempuran ini, Speelman berhasil meraih kemenangan.
Speelman berhasil meraih kemenangan mutlak di Buton, karena diluar dugaan orang Bugis Bone dan Soppeng yang berada di bawah komando Karaeng Bontomarannu berbalik arah melawan pasukan Gowa-Makassar. Mereka tahu bahwa di dalam pasukan Speelman ada Arung Palakka yang datang dari Batavia untuk membebaskan mereka dari kekuasaan Gowa- Makassar.
Melihat situasi yang kurang menguntungkan ini, Sultan Hasanuddin berusaha menormalkan hubungannya dengan Bone. Sultan Hasanuddin mengeluarkan pernyataan bahwa Kerajaan Bone sudah bebas dari Kesultanan Makassar. Pernyataan ini diikuti dengan tindakan mengembalikan La Maddarameng sebagai Raja Bone yang sah. Pada Februari 1667, La Maddarameng sudah kembali lagi di Bone. Namun ia tidak mau lagi menjadi raja, akan tetapi tetap mengakui saudaranya La Tenriaji Tosenrima sebagai raja Bone yang sah.
Akan tetapi, nasib sudah jadi bubur, Kebijakan Sultan Hasanuddin tersebut belum mampu membuat Bone kembali percaya kepada Sultan Hasanuddin.
Dalam situasi seperti ini, berangkatlah Speelman dan La Tenritatta Arung Palakka bersama pasukannya dari wilayah Buton, dan siap melakukan perang terbuka dengan Sultan Hasanuddin dan Karaeng Karunrung.
Pada Tanggal 19 Juni 1667, mereka semua berlayar menuju Makassar dengan tujuan yang sudah bulat, yaitu meruntuhkan kejayaan Gowa- Makassar yang selama ini mencaplok kerajaan Bonee.
Sesampainya di wilayah Makassar, perang pun berkecamuk. Sultan Hasanuddin mengalami kekalahan total. Speelman dan Arung Palakka berhasil meruntuhkan dan menguasai Benteng Somba Opu.
Dengan kekalahan kerajaan Gowa yang menyakitkan itu, maka pada tanggal 18 November 1667, memaksa Sultan Hasanuddin untuk menandatangani perjanjian Bungaya.
Akan tetapi Karaeng Bontomarannu, panglima angkatan Laut Kerajaan Gowa, yang berpihak kepada perjuangan Arung Palakka, mengusulkan kepada Sultan Hasanuddin, agar tidak menyetujui dan menandatangani perjanjian Bungaya itu, karena hanya menguntungkan pihak kompeni Belanda, dan sangat merugikan pihak Gowa.
Menurut Karaeng Bontomarannu bahwa Arung Palakka bukanlah lawan Gowa yang sebenarnya, tetapi kompeni Belanda yang harus diperangi. Akan tetapi usulan Karaeng Bontomarannu ini ditolak oleh Sultan Hasanuddin dengan berbagai pertimbangan. Sejak itulah Karaeng Bontomarannu memilih meninggalkan Gowa-Makassar.
Maka berangkatlah Karaeng Bontomarannu bersama armadanya meninggalkan Kerajaan Gowa dan di sinilah awal keruntuhan Kerajaan Gowa. Karaeng Bontomarannu kemudian sampailah di suatu tempat di tanah Jawa Madura. Di tempat itu kebetulan sedang bergolak peperangan melawan penjajah Belanda.
Dalam catatan sejarah, Kompeni Belanda mengakui bahwa Perang Gowa-Makassar merupakan perang yang begitu hebat dalam upaya menjadi penguasa tunggal atas perdagangan rempah-rempah di timur Nusantara.
Ketangguhan dan kegigihan Sultan Hasanuddin dalam Perang Gowa-Makassar sangat diakui oleh Kompeni Belanda. Mereka menggelari Sultan Hasanyddin dengan julukan Ayam Jantan dari Timur”, De Haantjes van Het Osten.
Keruntuhan kerajaan Gowa-Makassar keadaan berbalik 360 derajat, dimana menjadikan Arung Palakka menggantikan Sultan Hasanuddin sebagai penguasa di Sulawesi Selatan. La Tenritatta Arung Palakka berhasil membebaskan orang Bone dan soppeng dari kerja paksa serta penguasaan kerajaan Gowa-Makassar.
La Tenritatta Arung Palakka kemudian diangkat menjadi raja Bonee ke-15 pada 1672-1696. Selama menjadi penguasa, Arung Palakka menciptakan politik assiajingeng antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Sehingga tidak ada lagi peperangan dan saling menguasai.
Dalam diri Arung Palakka tidak ada unsur dendam dan kebencian terhadap Sultan Hasanuddin dan masyarakat Gowa. Hal itu dibuktikan Arung Palakka berwasiat, agar pada saat ajalnya tiba, agar dikuburkan di Wilayah kerajaan Gowa.
Arung Palakka meninggal di Bontoala, kerajaan Gowa, pada tanggal 6 April 1696 dan dimakamkan di Bontobiraeng. Kabupaten Gowa.
Perlu diketahui bahwa Sultan Hasanuddin lahir 12 Januari 1631 di Makassar, Sulawesi. Ia meninggal dunia pada tanggal 12 Juni 1670 dalam usia 39 tahun, dan sebagai raja Gowa ke-16 dalam 1653-1669.
Sementara itu, Arung Palakka lahir pada tanggal 15 September 1634 di Desa Lamatta, Mario Riwawo Soppeng, dan meninggal di Bontoala, kerajaan Gowa, pada tanggal 6 April 1696 dalam usia 62 tahun.
Jadi dari segi umur Sultan Hasanuddin lebih tua tiga tahun dari Arung Palakka. Dan bahkan dimasa kecil keduanya sering bermain raga bersama-sama.
Seperti diketahui, Sejak berumur sekitar 10 atau 11 tahun Arung Palakka dan keluarganya dibawa sebagai sandera ke Istana Gowa. La Tenritatta dalam keseharian sebagai pelayan Karaeng Pattingaloang, tokoh jenius di Kerajaan Gowa. Di bawah asuhannya, La Tenritatta Arung Palakka tumbuh menjadi pemuda yang mengesankan dan bertubuh atletis.
Meski dia terlibat aktif di Istana kerajaan Gowa dan berkawan dengan para pemuda Gowa-Makassar. Akan tetapi masalah harga diri mengingatkannya untuk selalu merenung sebagai putra Bugis yang hidup dalam pembuangan.
Awal 1660 dia merasa penderitaan itu semakin hebat karena harus menyaksikan ribuan orang tua maupun muda diseret dari Bone ke Gowa-Makassar atas perintah Sultan Hasanuddin. Mereka dijadikan pekerja paksa tanpa prikemanusiaan, sebagai penggali parit di sepanjang garis pertahanan pantai Makassar.
Lantaran Pelecehan siri atau harga diri itulah, yang menyebabkan La Tenritatta Arung Palakka melakukan pemberontakan terhadap Gowa.
Arung Palakka bak mengarungi samudera sebagaimana peribahasa yang berbunyi : Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.
Peribahasa ini menggambarkan kehidupan nelayan. Maksud sebenarnya “Lebih memilih tenggelam di lautan daripada harus kembali lagi ke pantai tanpa hasil”.
Namun dalam kehidupan masyarakat luas, peribahasa ini diartikan sebagai ketika suatu keputusan telah diambil, seharusnya tidak ada lagi keragu-raguan. Jadi keputusan itu harus dijalani/dilaksanakan, walaupun itu berarti harus menghadapi segala tantangan dan kendala yang menghadang.
“Masa lalu tidak ditulis untuk dinilai dengan nilai masa kini, dan oleh karena itu harga diri adalah bahan yang lebih baik dan adil dipakai, untuk menilai dan mengevaluasi kejadian penting pada abad itu, ketimbang standar masa kini. Itulah tentang Arung Palakka yang tokoh sejati, pahlawan tulen bukan pengkhianat dan penindas”.